Tuesday, November 22, 2011

Mengawali Ramadhan di Ungaran


“Aku mau sahur pertama di puncak gunung,” cetusku begitu saja tanpa dipikir ketika itu. Aku tak pernah menyangka, ide gila yang terlontar ringan dalam satu sesi obrolan geje itu akhirnya terwujud. Benar apa yang dikatakan Andrea Hirata dalam Edensor, ide-ide sinting memang selalu memiliki dua dimensi: dicemooh atau diikuti orang-orang frustrasi.
                                                      
Bersama empat orang frustrasi yang ‘terhasut’ sugestiku tentang betapa akan keren-sekali-kalau-bisa-sahur-pertama-di-puncak-gunung, kami memilih Gunung Ungaran sebagai tempat untuk melaksanakan ritual tersebut. Pertimbangannya, Gunung Ungaran tidak terlalu tinggi dan medannya tergolong tidak terlalu berat, sehingga yah bisalah kalau nanti kami turun gunung dalam keadaan berpuasa. Rencana kami: sampai di basecamp pendakian menjelang Magrib, shalat Magrib sekaligus menunggu waktu Isya dan menuntaskan shalat Tarawih, sampai puncak sekitar pukul 02.00 dini hari dan sahur di sana, istirahat beberapa jenak, kemudian turun sebelum matahari mulai tinggi dan menyengat terik. Sempurna!

Hanya saja, kenyataan memang kadang tidak sesuai harapan. Sampai di basecamp, kami mendapati kenyataan pahit bahwa tidak ada orang dan bangunan itu dikunci. Saat itu kami baru menyadari satu hal penting: sepertinya memang hanya kami yang nekat mendaki gunung di bulan puasa seperti ini. Maka di sanalah kami, terdampar di tanah rumput yang cukup lapang di samping basecamp. Sembari merapatkan jaket menahan deru angin gunung yang dinginnya menusuk ngilu, kami menghamparkan jas hujan sebagai alas dan menanti waktu shalat dengan gigi bergemeletuk. Dengung suara orang mengaji mulai terdengar dari pengeras suara masjid-masjid di bawah. Menatap pijar lampu-lampu kota yang terlihat jauh seperti bintang warna-warni, rasanya manusia jadi kecil sekali. Seorang teman mencoba menyalakan radio. “Siapa tau ada ceramah on air, biar kerasa udah masuk Ramadhan beneran nih,” ujarnya ambil mengutak-atik frekuensi. Dodolnya, alih-alih ceramah, yang tertangkap dari ketinggian basecamp ini ternyata hanya siaran dangdutan, hahahaha.

Usai Tarawih dan memastikan semuanya oke, kami memulai pendakian. Dua jam perjalanan pertama kami lalui tanpa hambatan berarti. Memasuki paruh kedua, jalur pendakian Ungaran mulai menunjukkan keganasannya. Treknya sempit dan terjal, dipenuhi batu-batu besar dan batang-batang pohon tumbang malang-melintang menghalangi jalan. Ditambah lagi, senter yang kupakai bermasalah sehingga beberapa kali aku harus memanjat bebatuan terjal dalam kegelapan hanya dengan mengandalkan feeling. Demi menyemangati diri sendiri, kami meneriakkan apa yang menjadi tekad kami ke sana, “Ayo nanti kita bikin sandwich buat sahur di puncak!” Kalimat motivasi yang cukup ampuh untuk terus memaksa kami melangkah rupanya, hahaha.

Mendekati pukul setengah tiga dini hari, kami tiba di puncak. Satu kata untuk puncak Ungaran: D.I.N.G.I.N. Hampir mendekati derajat dingin Gunung Sindoro ketika badai, padahal ketinggiannya jauh lebih rendah. Dengan tangan kebas mati rasa kedinginan, aku bersama dua orang teman cowok susah-payah mendirikan tenda. Setelah tenda siap, kami mulai bersiap memasak. Mataku mengerjap berbinar melihat bahan-bahan makanan yang kami bawa: roti, telur, keju, nugget, margarin, mie instan, jelly, jeruk, meses, sosis, energen, susu, kopi. Menggunakan alat masak seadanya –nesting dan kompor gas mini, kami berhasil membuat satu set menu yang sanggup membuat lidah berdecak dan cacing di perut menari-nari tak sabar. Menu utama: sandwich isi telur+nugget+keju+saos dan mie rebus sosis. Dessert: jelly jeruk tabur meses dan energen+susu+cappuccino. Makan besaar~! :D

Ditemani desau angin dan derik hewan malam, kami makan dalam diam. Lidah api yang tadi dinyalakan berbekal sepotong bara menjilat-jilat udara. Gurih telur dan nugget yang digoreng dengan margarin bercampur dengan lapisan keju yang lumer di lidah, nikmat sekali. “Ini sandwich terenak yang pernah kumakan,” lirih seorang teman dengan suara tercekat haru. Kami semua mengangguk sepakat. Segala kenekatan, perjuangan, lelah, frustrasi, keringat, gigil, rasanya terbayar. Ini adalah sahur paling luar biasa sepanjang hidup kami.

Tak berapa lama, samar-sama timbul-tenggelam terdengar suara serupa adzan Subuh nun dari kejauhan di bawah sana. Bertatapan satu sama lain, kami spontan saling mengucap, “Selamat menunaikan ibadah puasa…”
                                                                                                                              
menu sahur

P.s.:
sebenarnya ini catatan lama yang ditulis awal Ramadhan tahun ini, tetapi karena diikutkan ke suatu lomba dulu, jadi baru sekarang bisa di-publish, hehe.

Sunday, October 16, 2011

[12 Hari Menggeje di Bosnia] Identitas: Indonesia!

Terlepas dari ekspresi ngehe saya kalau masih ada orang yang pernah mencecap bangku kuliah tetapi masih bertanya Bosnia itu di mana, tidak bisa dipungkiri, tempat itu memang terbilang jauh dari Indonesia. Bukan hanya jauh secara geografis (berbeda 5 jam zona waktu, sekitar 14 jam penerbangan), tetapi juga jauh secara kultural dan ras, secara identitas.

Berlokasi di belahan timur benua Eropa, mayoritas orang yang menempati negara pecahan Yugoslavia itu adalah ras kaukasid. Bukan bermaksud rasis, tetapi konstruksi tulang wajah saya yang Mongoloid sekali ini jadi tampak mencolok di sana. Setiap saya lewat, orang-orang di jalan dipastikan tidak bisa tidak menengok. Jangankan sesama pejalan kaki, pengendara mobil pun begitu. Saya sampai khawatir akan terjadi kecelakaan gara-gara pengendara mobil tersebut malah memutar kepalanya ke arah saya dibanding melihat jalan, hahaha. Jadi berasa artis :p

Bukan hanya menarik perhatian di jalan, saya juga jadi ‘terkenal’ di motel tempat saya menginap. Setiap kali saya berpapasan atau satu lift dengan entah siapapun ―tamu motel selain tim kami maupun petugas motel, orang itu pasti akan menyempatkan waktu beberapa jenak berhenti mengamati saya dan berujar takjub, “Aah.. You must be Salsa from Indonesia!” Dan saya (lagi-lagi) berasa jadi artis, huahahaha.

Soal kebangsaan, ketika berkenalan pertama kali, tidak ada orang yang langsung menebak bahwa saya orang Indonesia. Mungkin karena Indonesia memang terhitung asing bagi orang-orang di sana. Sebagian besar hanya tahu ada negara bernama Indonesia, tapi tidak tahu negara itu seperti apa, dan ada di belahan bumi mana. Kurang-lebih sama lah seperti kalau menyebut Bosnia di Indonesia. Berkali-kali saya dikira orang Malaysia, bahkan pernah sekali ada yang mengira saya orang India -,-

Ada beberapa kejadian kocak tetapi menohok terkait masalah ke-Indonesia-an ini. Saat sedang berbincang dengan beberapa orang di tim, tiba-tiba ada seseorang yang nyeletuk, “Oh yeah, have you ever met Thea? She had just traveled to Maluku. Is it far from Indonesia?” Pertanyaan ringan itu mau tak mau membuat saya terhenyak. Eh? Maluku kan bagian dari Indonesia :|

Kali lain, saya bertemu dengan serombongan pemuda dari London yang mengisi liburan musim panasnya kali ini dengan bersepeda keliling Eropa, dan sekarang sedang sampai di Bosnia. Ketika saya menjawab bahwa saya dari Indonesia, mereka menanggapi dengan sangat bersemangat dan wajah berbinar-binar, “Ah, so you are from Indonesia? I like Gamelan, you know? It sounds great! Can you play it?” Dan saya cuma bisa cengar-cengir geje ―karena pada kenyataannya saya nggak bisa main gamelan. Jadi malu setengah hidup >,<

Salah satu great moment saya selama 12 hari di Bosnia adalah ketika berkunjung ke Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Sarajevo. Mendengar lagi bahasa ibu saya dalam percakapan setelah berhari-hari berkomunikasi dengan bahasa Inggris dan mendengar geremengan berbagai bahasa asing lainnya membuat saya merasa pulang. Bertemu dengan orang-orang KBRI yang ramah dan menyambut dengan antusias, rasanya seperti mendapat keluarga baru. Berkat mereka, saya bisa kembali ke Indonesia tepat waktu dan tidak tertahan di bandara Sarajevo. Kalau sebelumnya tidak berkunjung ke KBRI, saya tidak bisa membayangkan akan seperti apa panik dan kalutnya saya saat itu. Saya masih ingat betul apa yang dikatakan salah satu staf KBRI ketika menelepon saya di ruang tunggu bandara, “Yang penting kamu sampai Indonesia dengan selamat. Masalah yang di sini, biar KBRI yang ngurus. Santai aja, sesama orang Indonesia kan keluarga.” :’)

Begitulah. Di negeri asing yang berjarak ribuan kilometer jauhnya ini, saya justru baru menyadari berbagai hal soal ke-Indonesia-an saya :)


P.s:
Maafkan saya yang dengan tidak tahu dirinya baru melanjutkan catatan ini setelah lewat berbulan-bulan lamanya *melirik tanggal saya membuat prolognya -,-. Semoga fragmen-fragmen berikutnya soal petualangan geje saya di Bosnia tidak tersendat selama ini lagi, haha.
Special thanks untuk orang-orang di KBRI yang benar-benar banyak membantu saya selama di sana. Terima kasih untuk Mbak Retno, yang menemani saya muter-muter dan mentraktir berbagai macam penganan khas sana, juga memberi saya tumpangan menginap dan memasakkan gulai ayam yang enaaak~ hehe :D
Untuk teman-teman yang akan atau ingin ke luar negeri, sempatkanlah waktu untuk berkunjung ke KBRI di sana. Trust me, it worths!

Yogyakarta, 15 Oktober 2011

Di sana ada Masjid Istiqlal Indonesia lho~

Dzamija Istiklal - Indonezanska Dzamija

Monday, August 8, 2011

[12 Hari Menggeje di Bosnia] Prologue: Going Out of My Comfort Zone

Kata Bu Muslimah seperti yang dikenang Andrea Hirata dalam Edensor, “Kalau ingin menjadi manusia yang berubah, jalanilah tiga hal ini: sekolah, banyak-banyak membaca Al-Quran, dan berkelana.”

Aku sepenuhnya sepakat dengan perkataan itu. Sekolah dan membaca Al-Quran, tentu saja. Seperti yang disebut pula oleh Ikal, karena pada kedua hal tersebut terdapat saripati ilmu. Namun, mengapa berkelana? Menurutku, karena berkelana memaksa manusia meninggalkan zona nyaman mereka.

12 hari di Bosnia, aku benar-benar keluar dari zona nyamanku. Sebolang-bolangnya aku, itu pertama kalinya aku pergi sejauh itu, sendirian. Bukan ke negara yang biasa didatangi warga negara Indonesia pada umumnya pula. Rasanya seperti memasuki belantara antah-berantah. Menggoda, menggelitik adrenalin gairah akan tantangan, membangkitkan debar dan tegang.

12 hari di Bosnia, aku merangkak lepas dari lingkaran budaya yang selama ini melingkupiku nyaman. Di sana, aku bertemu orang-orang dengan karakter, kebiasaan, dan pemikiran yang sama sekali berbeda. Melintasi benua dan samudera, segalanya terasa asing dan tak biasa. Mulai dari hal sepele seperti makanan dan toilet, sampai hal-hal yang bersifat prinsip seperti keyakinan dan identitas.

12 hari di Bosnia, aku tertatih meninggalkan jaring-jaring bahasa yang selama ini dengan nyaman kugunakan. Orang-orang di sana berbicara dengan bahasa yang tidak kupahami, dan aku berbicara dengan bahasa yang tidak mereka pahami. Jangankan bahasa Indonesia, sebagian besar penduduk di sana bahkan tidak bisa bahasa Inggris. Maka bayangkanlah, bagaimana tidak tambah nyasar, ketika aku bertanya di mana ‘railway station or bus station’ dan mereka tidak mengerti apa yang kutanyakan, hahaha.

12 hari di Bosnia, aku terseok dari kenyamanan menjadi mayoritas. Aku jadi mengerti mengapa ikatan di antara orang-orang dalam golongan yang sedikit bisa menjelma begitu kuat. Berada di posisi minor, seseorang cenderung mencari dan kembali pada akar kekerabatan terdekatnya. Sekadar tahu bahwa  masih ada segelintir yang 'sama' di tengah tekanan dominansi yang berbeda, rasanya bertahan dan tegar jadi lebih mudah.

Ada pepatah, ‘seenak-enaknya hujan emas di negeri orang, masih lebih baik hujan batu di negeri sendiri’. Dulu aku seringkali berpikir: ah, bodoh sekali pepatah itu, untuk apa bertahan dalam hujan batu kalau bisa mendapatkan hujan emas. Sekarang, setelah merasakan seperti apa rasanya hidup sendiri di negeri orang meski hanya sebentar, aku baru bisa memahami mengapa si pembuat pepatah mengatakan seperti itu. 12 hari di luar sana membuatku menyadari, ternyata aku mencintai tanah air ini, mencintai segala hal berharga yang ada di sini.



P.s:
Tulisan ini adalah prolog dari serangkaian catatan berikutnya tentang 12 hari petualangan gejeku di negeri orang, 11-22 Juli lalu. Sedikit merasa bersalah, baru sok-sempat menulis setelah lewat hampir sebulan begini. Semoga ‘niat baik’ untuk merampungkan keseluruhan cerita ini tidak tersendat di tengah jalan, haha.



Yogyakarta, 8 Agustus 2011
14.58 WIB

Saturday, April 23, 2011

Menghargai Proses

Kau sudah berjalan sebegitu jauh, menempuh medan sebegitu berat, mati-matian, berpeluh, berjuang, lelah, terjungkal, bangkit lagi, terjatuh, mengaduh, tapi masih tetap bertahan melaju. Lantas, tinggal selangkah lagi sebelum mencapai tujuan, kau harus mundur. Seperti apa rasanya?

Dulu, kupikir, rasanya pasti akan seperti menelan pil pahit tanpa air. Menyesakkan.

*****

“Aku tunggu di sini atau ikut orang-orang yang turun aja.”
Mendengar kalimat terputus-putus pelan itu, aku tercekat. Menengadah, memicingkan mata mencoba menerka puncak. Seratus meter lagi, sayang.

“Jadi gimana, Mbak’e?”
Aku mengalihkan pandangan ke atas, beberapa teman lain berhenti berselang cukup jauh di depan, menanti. Aku berbalik, menatap kembali wajahnya yang meringis. Menghela nafas, menguatkan hati.
“Naik bareng, turun bareng. Tolong panggil yang lain, kita turun.”

*****

Dulu, kupikir, hal seperti itu akan terasa sangat menyakitkan. Tapi hey, ternyata tidak juga.

Sepanjang perjalanan turun, aku memikirkan banyak hal. Apa ini keputusan yang tepat? Atau seharusnya tadi biarkan saja yang lain naik? Tapi, akan seperti apa pula rasanya meninggalkan yang sakit sementara kami ‘bersenang-senang’ sendiri?

“Sunset!” Seruan takjub itu seketika membuyarkan solilokui-ku. Menatap langit jingga kemerahan, segenap perbendaharaan kata yang kupunya seolah menguap. Panorama matahari terbenam di balik tebing karang itu benar-benar menakjubkan. Cantik sekali.

Ah, seketika hatiku terasa lapang. Dengan keindahan seperti ini, dengan perjalanan semenakjubkan ini, se’gila’ ini, –mulai dari ‘diusir’ di basecamp Slamet sampai akhirnya ‘terdampar’ di Sumbing bersama orang-orang geje-, maka nikmat Tuhanmu yang mana lagi yang kau dustakan? Maka ketika kita telah begitu berjuang, apalagi yang perlu disesali?

Menghargai proses, bukan sekadar terobsesi pada hasil. Sepertinya itu pelajaran paling telak yang kudapat di pendakian kali ini. Sebenarnya, ketika mendaki gunung, apa yang kau cari? Puncaknya kah? Atau keping-keping pengalaman berharga yang terserak di sepanjang perjalanan naik dan turunnya?

“…bahwa mendaki gunung sesungguhnya bukanlah untuk menaklukkan puncaknya, tetapi untuk menaklukkan diri kita sendiri, agar jangan menyerah oleh hati yang lemah, tekad yang setengah-setengah, dan mimpi yang tak tentu arah.” -5 cm-


P.s.:
mengenang momen-momen geje-tapi-menakjubkan dari basecamp Slamet sampai (hampir) puncak Sumbing, 15-18 April 2011




Wednesday, February 9, 2011

Turun

"Ini nanti turunnya gimana ya?"

Itu yang selalu ada dalam pikiran saya setiap kali naik gunung. Bebatuan terjal, tanah miring licin, akar-akaran yang melintang menjegal. Naik memang melelahkan dan membuat nafas tersengal. Tapi entah kenapa, turun selalu lebih sakit dan mengerikan. Bahkan sekadar membayangkan atau memikirkannya.

Hidup pun, rasanya seperti itu. Naik, menuju target yang lebih tinggi, memang melelahkan.  Banyak rintangannya, mulai dari faktor internal (baca: mental, keragu-raguan), orang-orang di sekitar, lingkungan yang rasanya tidak mendukung (misal: badai), dan berjuta dalih lainnya. Butuh perjuangan, usaha, strategi, visi, kesabaran, ketelatenan, pantang menyerah. Berat.

Tapi, turun dari ‘ketinggian’ ternyata lebih mengerikan. Tidak semelelahkan naik dan tidak membuat terengah-engah seperti naik, sih. Hanya saja, rasanya, lebih sakit. Apalagi kalau turunnya disertai jatuh terjungkal, terpeleset, tersandung, terluka, dan terkilir.

Naik memang berat, tapi turun lebih mengerikan. Sayangnya, dalam hidup yang siklis, naik dan turun adalah niscaya. Yeah, mungkin sebaiknya berharap saja, agar ketika ‘turun’ nanti baik-baik saja.


P.s.:
catatan ringan nan super singkat bin geje ini ditulis sebagai 'jejak' pendakian Sindoro, 5-6 Februari 2011

Wednesday, February 2, 2011

Baduy: Antara Eksotisme Adat dan Mafia Pariwisata

Menyebut Baduy adalah menyebut salah satu suku adat yang masih tersisa di Indonesia. Menempati perbukitan di ujung barat Pulau Jawa, aturan yang berlaku di antara mereka adalah aturan adat. Cara hidup, pernikahan, mata pencaharian, dan segala aspek kehidupan lainnya. Adat yang tetap dipegang di tengah gempuran modernisasi itulah yang menggelitik perhatian sebagian kalangan. Termasuk saya.

Dari Jakarta, perjalanan menuju Baduy bisa diawali dengan kereta jurusan Rangkasbitung. Perjalanan dua sampai tiga jam dari Stasiun Tanah Abang itu dikenakan tarif dua ribu untuk kereta ekonomi biasa, dan empat ribu untuk kereta ekonomi AC. Dari Stasiun Rangkasbitung, dilanjutkan dengan angkot merah menuju stasiun Aweh, tiga ribu rupiah. Dari Terminal Aweh ini ada angkutan umum berupa elf tujuan Ciboleger, dengan waktu tempuh sekitar satu setengah jam. Tarif normalnya dua belas ribu rupiah per orang. Perlu diingat, itu tarif normal.

Bukan perjalanan mudah

Turun di Terminal Ciboleger, perjalanan sesungguhnya menuju Baduy baru akan dimulai. Jarak dari Ciboleger sampai Desa Cibeo, Baduy Dalam sekitar 12 kilometer. Jarak itu harus ditempuh dengan berjalan kaki, karena kendaraan hanya diizinkan sampai Ciboleger. Ciboleger termasuk dalam kawasan Bojongmenteng, belum memasuki wilayah Baduy. Rumah-rumah di sini sudah berdinding bata, bahkan ada Alfamart segala. Tak jauh dari terminal, ada warung kopi besar dengan empat kamar mandi umum gratis. Sebaiknya, tuntaskan segala urusan MCK di sini, karena ini adalah kamar mandi terakhir yang kami jumpai. Di sini, kami diberitahu bahwa saat ini sedang bulan Kawaluh, bulan sucinya orang Baduy. Karena itu, masuk ke sana tidak bisa sembarangan. Kami pun diminta membeli minyak dan kemenyan sebagai bawaan untuk kepala suku sana. Meski sambil mengangkat alis, tak ayal kami menuruti permintaan tersebut. Daripada nggak bisa masuk, udah jauh-jauh sampe sini, masa langsung pulang lagi, begitu pikir kami ketika itu.


Alfamart di Ciboleger


Tujuan pertama kami adalah kantor lurah Kanekes, desa terluar di Baduy Luar, untuk mengisi buku tamu dan membayar biaya administrasi Rp 10.000,00 per rombongan. Memasuki Desa Kanekes, ada site marker berupa gapura dan papan kayu bertuliskan hak ulayat Baduy. Bahwa kami telah memasuki wilayah Baduy, dan dilarang bla bla bla. Yang menarik, ada logo ‘sinyal kuat Indosat’ di gerbang dan papan tersebut. Pesan sponsor, eh? (Padahal Indosat juga nggak dapet sinyal di Baduy Dalam dan sebagian Baduy Luar, haha -,-)


Site marker kawasan Baduy, papan hak ulayat
Medan jalan menuju Baduy sama sekali bukan trek yang mudah. Agar tidak terlalu malam sampai ke Baduy Dalam, kami berangkat melewati jalur hutan, tidak melewati perkampungan Baduy Luar. Sahut-menyahut suara kodok dan alunan desir angin yang mengalir melewati lubang bambu mengiringi langkah kami. Tanjakan dan turunan terjal, bebatuan licin, tanah merah becek, hujan yang angin-anginan, dan beberapa faktor lain (seperti Hanifah yang salah kostum sepatu xp) sedikit-banyak membuat rombongan kami tidak bisa berjalan terlalu cepat. Beberapa kali kami disusul oleh bapak-bapak Baduy yang bertelanjang kaki, berjalan cepat tanpa ragu, tanpa khawatir luka tergores-gores dan terantuk batu. Hebat.

Karena memang berangkat terlalu sore, malam di jalan pun tidak bisa dielakkan. Maka senter menjadi benda yang sangat berharga. Angin dingin berhembus semilir, membuat bulu kuduk meremang. Menengok ke belakang, yang ada hanyalah kegelapan pekat. Derik jangkrik sesekali terdengar, memecah sunyi, menghadirkan aura alam bebas yang mistis.

Bermalam di Baduy Dalam

Menempuh sekitar tiga setengah jam perjalanan, akhirnya kami sampai di Desa Cibeo. Setelah mencuci kaki di sungai, Kang Sarid, pemandu kami, langsung menunjukkan jalan ke rumah penduduk tempat kami akan numpang menginap. Dinding dan lantai rumah itu terbuat dari anyaman bambu. Kalau kami berjalan, akan muncul bunyi kriet… kriet… dari lantai bambu yang terinjak. Tiang-tiang penopangnya dari batang bambu, dan atapnya dari rumbia. Khas sekali. Rumah panggung itu hanya memiliki dua ruangan, ruang depan dan ruang belakang tempat dapur. Tanpa kamar khusus. Kami celingak-celinguk mencari tempat ganti baju. Pak Sarminah, tuan rumah kami, akhirnya menggantungkan kain berbahan seperti goni di salah satu sudut ruangan, sebagai tirai untuk tempat ganti baju. Saya jadi teringat kamar pas di toko-toko busana. Ini versi tradisionalnya kali ya --‘

Saturday, January 29, 2011

Gopek


Gopek. Rp 500,00. Lima ratus perak. Apa artinya sekeping logam itu?

Di Jogja, lima ratus rupiah berarti sepotong tempe, atau ditambah lima ratus lagi bisa dapet es teh. Di Jakarta, sekeping gopek itu bisa berarti keributan antara sopir angkot dan penumpangnya, dan sisa perjalanan yang menegangkan karena sang sopir ugal-ugalan sambil ngedumel panjang-lebar.

Tokoh-tokoh
Penumpang, selanjutnya disebut P. Seorang ibu-ibu berusia sekitar 40 tahun, dengan seragam coklat lumpur khas pegawai pemerintahan. Badge di bajunya bertuliskan kejaksaan.
Sopir angkot, selanjutnya disebut S. Abang-abang berusia sekitar 30 tahun, dengan seragam khas sopir angkot Jakarta: kaos belel dan handuk kecil yang disampirkan di pundak.

P mengetuk kap mobil. S tidak mendengar, terus membawa angkotnya lari. P mengetuk lebih keras, tak sabar. “Woi, bang, kiri bang!” Mobil berdecit keras, miring ke kiri.
P turun, menghampiri jendela penumpang di samping sopir. Mengulurkan selembar lima ribu rupiah. S menyerahkan selembar dua ribuan sebagai kembalian. P membelalak.
“Kurang bang!” sentak P.
“Ibu dari Halim kan? Tiga ribu Bu,” sahut S masih berusaha menekan emosi.
“Anda jangan tidak jujur ya! Mana ada dari Halim sampai sini tiga ribu?! Kurang gopek lagi!”
Penumpang lain mulai celingak-celinguk gelisah. S yang melihat gelagat tidak baik cepat-cepat mengorek-ngorek kaleng uang recehnya, menyerahkan sekeping gopek-an setengah hati.
“Dasar, baru jadi sopir angkot aja udah nggak jujur!” desis P sambil berjalan pergi.
“Dasar ibu-ibu bawel! Mentang-mentang PNS! Emang dikira kejaksaan jujur?!” cerocos S sambil mulai menyentak mobilnya. “Pantes aje die kagak mau naik 26. Kalo 26, dari Halim empat ribu tuh. Hah! Untung 19 masih baik! Untung gue masih baik!”
Dan kami, para penumpang yang lain ini hanya bisa mengelus dada dan memekik kecil ketika angkot yang kami tumpangi semakin ugal-ugalan, seiring dengan mood S yang makin bersemangat menggerutu dan merutuk.

“…Hah, pemerintah juga sama aje. Enak bener gaji udah puluhan juta mau dinaikin lagi. Gimana nasib gue yang harus kejer setoran ini? Tarif naik, penumpang marah-marah. Tarif nggak naik, gue yang rugi. Apes… apes…”