Thursday, August 12, 2010

Romantika Nyasar

Katanya, orang-orang bergolongan darah B adalah orang-orang yang paling gampang nyasar. Entah ilmiah atau tidak, valid atau tidak, kenyataannya, hal itu bisa dibilang tepat bagi saya. Rasanya bisa dihitung jari, berapa kali saya 'berhasil' pergi ke suatu tempat baru tanpa insiden nyasar. Bahkan, jangankan pergi ke tempat baru, pergi ke tempat yang baru seminggu sebelumnya saya datangi pun saya bisa nyasar. Nyasar seolah tak pernah lekang dari segala bentuk perjalanan saya.

Nyasar di Jakarta? Jangan ditanya. Beribu kali mungkin. Maka, jangan tanya di pelosok mana saja saya pernah nyasar. Jangan tanya pula bus dan angkot mana saja yang pernah saya naiki dalam episode-episode nyasar itu. Jangan tanya pula berapa kilometer saya pernah berjalan kaki menyusuri jalanan Jakarta yang panas nan penuh polusi gara-gara nyasar.

Merantau dari Jakarta, petualangan nyasar saya berlanjut di Kota Pelajar. Cerita-cerita bodoh nan konyol pun berkali-kali terjadi. Setelah dipikir-pikir,pangkalnya sebagian besar adalah ke'soktahu'an saya sendiri sepertinya, haha. Pernah suatu kali saya dan beberapa teman ingin menghadiri sebuah acara. Di pamfletnya tertulis, 'di samping Universitas Mercu Buana'. Oh, Universitas Mercu Buana kan di Gamping, begitu pikir saya. Maka dengan pedenya, kami menaiki bus Jalur 15.Satu setengah jam kemudian, sampailah kami di depan Universitas Mercu Buana Gamping. Eng... ing... eng... Tempat yang dimaksud dalam pamflet tidak ada disana. Kami pun tercekat ketika menyadari bahwa Universitas Mercu Buana yang dimaksud adalah kampus 2 yang berada di Gejayan, sekitar lima belas menit perjalanan dari tempat awal kami menyetop bus tadi.

Nyasar pun seolah menjadi adegan yang 'wajib' ada dalam cerita-cerita bolang saya. Di ketinggian Dieng Plateu, nyasar. Dari situs ke situs di Trowulan, hampir nyasar. Melintasi lautan kabut Bromo, nyasar dan nyaris kehilangan arah. Dalam perjalanan ke pantai selatan Banyuwangi, nyasar.Menyusuri jalanan Bali dari Denpasar ke Sanur, nyasar. Ke Candi Sukuh, nyasar. Ah, kapan sih saya jalan-jalan dan nggak nyasar? -_-

Betapapun, saya menikmati segala ke-nyasar-an itu. Bagi saya, nyasar tidak sekedar membuang-buang waktu sia-sia. Saya belajar banyak hal dari sana. Nyasar membuat saya mengetahui jalan-jalan alternatif yang jarang sekali dilirik orang. Nyasar membuat saya hafal rute-rute kendaraan umum, harus naik apa kalau mau ke mana. Saat nyasar, saya menemukan banyak sekali hal baru yang mungkin sebelumnya luput dari perhatian.

Bagi saya, nyasar adalah bagian dari romantika kehidupan. Nyasar membuat saya memahami bahwa hidup memang tidak selamanya linear. Seringkali kita perlu tersasar terlebih dahulu sebelum menemukan jalan yang 'benar'. Bahkan terkadang, justru kita bisa menemukan jalan yang 'lebih baik' saat tersasar itu. Nyasar memaksa dan menyeret saya keluar dari zona nyaman saya, membuat saya berpikir out of the box dalam mencari jalan keluar. Nyasar membuat saya memaknai hidup sebagai sebuah proses pencarian, yang tak akan berhenti hanya karena tersasar di tengah jalan.

Ketika nyasar, mungkin rasanya memang menyebalkan. Kesal, lelah, peluh, panik, bimbang, resah, semuanya. Namun setelahnya, yang tersisa adalah romantika dan kenangan manis, bukan?

Hidup juga, seperti itu, kan?


Rumah, 12 Agustus 2010

Tuesday, August 3, 2010

Terima Kasih, Merapi

Terima kasih untuk Merapi,
yang mengajariku tentang kesabaran

Terima kasih untuk Merapi,
yang mengajariku tentang meniti perlahan

Terima kasih untuk Merapi,
yang mengajariku tentang menekan ego

Terima kasih untuk Merapi,
yang mengajariku makna bekerja di balik layar
yang menjawab tanya dalam benakku bertahun silam
mengapa tut wuri handayani yang menjadi slogan Departemen Pendidikan

Terima kasih, Merapi
untuk tajam bebatuannya, untuk riuh-rendah anginnya, untuk butiran pasir dan debunya, untuk sengatan mataharinya yang membakar dalam senyap, untuk hembusan uap belerangnya, untuk kawahnya, untuk puncaknya

dan terutama, untuk Tuhan yang menciptakannya dan mengizinkanku menjejakkan kaki di sana

Untuk segala pelajaran dan keping mozaik yang terserak di sepanjang perjalanan naik dan turunnya, sekali lagi, terima kasih...


Merapi, 1-2 Agustus 2010
ditulis di Yogyakarta, 3 Agustus 2010