Wednesday, September 8, 2010

[Gombong-Kebumen] Mozaik 2: Benteng yang Kehilangan Nuansanya

Benteng Van Der Wijck adalah benteng pertahanan Belanda yang dibangun pada abad ke 19. Nama benteng ini diambil dari Van Der Wijck, yang kemudian nama komanda pada saat itu. Nama benteng ini terpampang pada pintu sebelah kanan. Benteng ini kadang juga dihubungkan dengan nama Frans David Cochius, seorang jenderal yang bertugas di daerah barat Bagelen, sehingga benteng ini sering juga disebut Benteng Cochius.

Aku membaca baris-baris itu dengan tak sabar. Uraian singkat dari Wikipedia itu sama sekali tak menjelaskan apa-apa, apalagi menjawab rasa penasaran. Tenanglah. Sebentar lagi aku akan melihatnya sendiri. Sebentar lagi...

++++++++++++++++++++++++++++++

Berjalan kaki sekitar satu kilometer dari tempat turun bus, jalan utama jalur selatan Yogya Purwokerto atau Yogya-Cilacap, kami sampai di gapura ’Selamat Datang di Taman Wisata Benteng Van Der Wijck’. Taman wisata?

Tampak depan

[Gombong-Kebumen] Mozaik 1: Perjalanan

Jumat sore
“Kebumen lumayan jauh. Sekitar 3-4 jam perjalanan. Besok ketemu di Bunderan Filsafat jam 8 ya.”

Sabtu, 07.33
”Hah! Astagfirullah! Udah jam segini!” -baru bangun-
Tuiit tuiit *bunyi SMS masuk*
”Bil, aku kesiangan. Ketemu jam 8.45 aja ya.”

Sabtu, 09.05
Bunderan Filsafat. Kosong. Tak terlihat batang hidung dua orang itu.
Tuuut tuuut
”Yu, di mana?”
”Di jalan, Bil! Bentar! Bentar! Aku kesiangan!”
Tuiit tuiit *bunyi SMS masuk*
”Aku otw.”

Sabtu, 09.15
”Motorku taro mana nih?”
“Taro FIB aja. Atau taro Maskam.”
“Aman po? Taro kos Andri aja deh.”
“Ke sananya gimana?”
“Udah, cenglu aja! Cenglu!”

Sabtu, 09.40
”Eh, ayo cepetan! Itu jalur 15!”
“Naik naik naik!”

Maka, begitulah. Perjalanan ke Gombong hari itu diawali dengan kesiangan. 3 dari 3 avonturir itu kesiangan. Rencana jam 8, hampir jam 10 baru berangkat. Indonesia, Indonesia.

++++++++++++++++++++++++++++++

Sabtu, 13.35
Bus melaju, melewati gapura bertuliskan ’Gombong’.
”Yu, siap-siap. Bangunin Mbadea. Udah mau nyampe.”
“Mbadea, bangun, udah mau nyampe.”
“Hmmmmhhh….” -tetep tidur-

5 menit kemudian
“Gombong Gombong! Yang turun benteng benteng!” Suara kenek itu menghentak.
”Ayo Yu, Mbadea, turun.”
Aku meloncat, disusul Ayu. Tidak disusul Mbadea. Bus berjalan lagi.
“Hah! Yu! Mbadea mana?”
”Wah, katanya tadi aku disuruh duluan.”
”Mbadea ketinggalan di bus!”
”Hah! Oh iya! Pak, Pak, berhenti Pak! Ada yang belom turun!”
Kenek bus menatap kami tanpa ekspresi. Bus tetap bergerak menjauh.
”Mbadea kebawa bus! Hahahahahahahaha.”
“Hahahahahahahahahahahaha.”

Dan kami sukses terpingkal-pingkal sampai terbungkuk-bungkuk sakit perut. Jahat bener ya xp.

++++++++++++++++++++++++++++++

Sabtu, 17.00
”Tanyain Mbak, ongkos dari benteng sampe pertigaan Wonoyoso berapa.”
”Dua ribu katanya.”

Sabtu, menjelang Maghrib
Kenek mikrobus itu mengangsurkan selembar seribu rupiah sebagai ganti uang sepuluh ribu yang kami berikan. Kami melongo. Tiga ribu seorang? Katanya Ais bukannya dua ribu?

Minggu pagi
”Kurang dua ribu Mbak,” kata kenek itu melihat selembar sepuluh ribu yang aku sodorkan.
”Ah, kemaren saya naik ini juga bayarnya tiga ribu Pak seorang.”
”Ya itu kan kemaren. Hari ini empat ribu.”

Et dah. Untuk jarak yang sama, beda hari beda tarif ya??!

++++++++++++++++++++++++++++++

Minggu, 17. 03, di atas bus jalur 15
”Mbak, turun mana?”
”Kampus UGM Pak.”
”Cuma sampe Mirota ya Mbak.”
”Hah? Ga lewat lembah Pak? Kehutanan?”
”Kita mesti ngambil makanan buat buka puasa bersama anak TK nih, Mbak. Nggak keburu nanti. Nuwun sewu nggih.”

Bah! Buka puasa bersama anak TK itu membuatku terancam ketinggalan kereta pulang! Belum mandi, belum packing, belum beres-beres, belum beli pesenan orang rumah, sementara kereta berangkat setengah tujuh nanti. Hwaaaaa~

”Dodol bener dah kalo nggak jadi pulang kampung gara-gara kelamaan di Kebumen. Hahahaha...”

++++++++++++++++++++++++++++++

Next:
[Gombong-Kebumen] Mozaik 2: Benteng yang Kehilangan Nuansanya

Thursday, August 12, 2010

Romantika Nyasar

Katanya, orang-orang bergolongan darah B adalah orang-orang yang paling gampang nyasar. Entah ilmiah atau tidak, valid atau tidak, kenyataannya, hal itu bisa dibilang tepat bagi saya. Rasanya bisa dihitung jari, berapa kali saya 'berhasil' pergi ke suatu tempat baru tanpa insiden nyasar. Bahkan, jangankan pergi ke tempat baru, pergi ke tempat yang baru seminggu sebelumnya saya datangi pun saya bisa nyasar. Nyasar seolah tak pernah lekang dari segala bentuk perjalanan saya.

Nyasar di Jakarta? Jangan ditanya. Beribu kali mungkin. Maka, jangan tanya di pelosok mana saja saya pernah nyasar. Jangan tanya pula bus dan angkot mana saja yang pernah saya naiki dalam episode-episode nyasar itu. Jangan tanya pula berapa kilometer saya pernah berjalan kaki menyusuri jalanan Jakarta yang panas nan penuh polusi gara-gara nyasar.

Merantau dari Jakarta, petualangan nyasar saya berlanjut di Kota Pelajar. Cerita-cerita bodoh nan konyol pun berkali-kali terjadi. Setelah dipikir-pikir,pangkalnya sebagian besar adalah ke'soktahu'an saya sendiri sepertinya, haha. Pernah suatu kali saya dan beberapa teman ingin menghadiri sebuah acara. Di pamfletnya tertulis, 'di samping Universitas Mercu Buana'. Oh, Universitas Mercu Buana kan di Gamping, begitu pikir saya. Maka dengan pedenya, kami menaiki bus Jalur 15.Satu setengah jam kemudian, sampailah kami di depan Universitas Mercu Buana Gamping. Eng... ing... eng... Tempat yang dimaksud dalam pamflet tidak ada disana. Kami pun tercekat ketika menyadari bahwa Universitas Mercu Buana yang dimaksud adalah kampus 2 yang berada di Gejayan, sekitar lima belas menit perjalanan dari tempat awal kami menyetop bus tadi.

Nyasar pun seolah menjadi adegan yang 'wajib' ada dalam cerita-cerita bolang saya. Di ketinggian Dieng Plateu, nyasar. Dari situs ke situs di Trowulan, hampir nyasar. Melintasi lautan kabut Bromo, nyasar dan nyaris kehilangan arah. Dalam perjalanan ke pantai selatan Banyuwangi, nyasar.Menyusuri jalanan Bali dari Denpasar ke Sanur, nyasar. Ke Candi Sukuh, nyasar. Ah, kapan sih saya jalan-jalan dan nggak nyasar? -_-

Betapapun, saya menikmati segala ke-nyasar-an itu. Bagi saya, nyasar tidak sekedar membuang-buang waktu sia-sia. Saya belajar banyak hal dari sana. Nyasar membuat saya mengetahui jalan-jalan alternatif yang jarang sekali dilirik orang. Nyasar membuat saya hafal rute-rute kendaraan umum, harus naik apa kalau mau ke mana. Saat nyasar, saya menemukan banyak sekali hal baru yang mungkin sebelumnya luput dari perhatian.

Bagi saya, nyasar adalah bagian dari romantika kehidupan. Nyasar membuat saya memahami bahwa hidup memang tidak selamanya linear. Seringkali kita perlu tersasar terlebih dahulu sebelum menemukan jalan yang 'benar'. Bahkan terkadang, justru kita bisa menemukan jalan yang 'lebih baik' saat tersasar itu. Nyasar memaksa dan menyeret saya keluar dari zona nyaman saya, membuat saya berpikir out of the box dalam mencari jalan keluar. Nyasar membuat saya memaknai hidup sebagai sebuah proses pencarian, yang tak akan berhenti hanya karena tersasar di tengah jalan.

Ketika nyasar, mungkin rasanya memang menyebalkan. Kesal, lelah, peluh, panik, bimbang, resah, semuanya. Namun setelahnya, yang tersisa adalah romantika dan kenangan manis, bukan?

Hidup juga, seperti itu, kan?


Rumah, 12 Agustus 2010

Tuesday, August 3, 2010

Terima Kasih, Merapi

Terima kasih untuk Merapi,
yang mengajariku tentang kesabaran

Terima kasih untuk Merapi,
yang mengajariku tentang meniti perlahan

Terima kasih untuk Merapi,
yang mengajariku tentang menekan ego

Terima kasih untuk Merapi,
yang mengajariku makna bekerja di balik layar
yang menjawab tanya dalam benakku bertahun silam
mengapa tut wuri handayani yang menjadi slogan Departemen Pendidikan

Terima kasih, Merapi
untuk tajam bebatuannya, untuk riuh-rendah anginnya, untuk butiran pasir dan debunya, untuk sengatan mataharinya yang membakar dalam senyap, untuk hembusan uap belerangnya, untuk kawahnya, untuk puncaknya

dan terutama, untuk Tuhan yang menciptakannya dan mengizinkanku menjejakkan kaki di sana

Untuk segala pelajaran dan keping mozaik yang terserak di sepanjang perjalanan naik dan turunnya, sekali lagi, terima kasih...


Merapi, 1-2 Agustus 2010
ditulis di Yogyakarta, 3 Agustus 2010

Sunday, July 25, 2010

[Perjalanan Penuh Nekat] Baron-Kukup, Tempat Gunung dan Laut Bertemu

Oke, perjalanan ini memang perjalanan nekat. Didasari oleh kenekatan, penuh hal-hal nekat, dan diakhiri dengan kenekatan pula.

Awalnya adalah tanpa rencana. Hanya sekedar ingin ‘melarikan diri’ sejenak. Berbekal secuil informasi dari internet, Senin itu, selepas kuliah bahasa Inggris, saya berdua dengan seorang teman sejurusan, nekat langsung jalan saja.

Kami memang ‘anak bus’. Maka perjalanan hari itu juga kami tempuh dengan bus. Bus jalur 4 UGM-Ring Road Selatan Rp 2.500,00, lanjut bus Jogja-Wonosari sampai terminal Wonosari Rp 6.000,00. Keluar dari terminal, di pinggir jalan ada angkudes (angkutan desa) bertuliskan Wonosari-Baron Rp 7.500,00. Begitulah rute angkutan umum kami hari itu menuju Pantai Baron, satu pantai di daerah Gunung Kidul yang dijangkau kendaraan umum.

Perjalanan tiga jam lebih itu bukan perjalanan yang mudah. Melintasi Gunung Kidul berarti melewati jalan yang berkelok-kelok naik-turun. Bagi yang tidak terbiasa dan memiliki kecenderungan mabuk darat, bisa pusing dan mual. Tapi sungguh, perjalanan panjang itu benar-benar tidak sia-sia.

Menikmati Perjalanan

Saya pernah beberapa kali mengajak beberapa teman untuk berjalan-jalan ke suatu tempat, dan ditanggapi dengan skeptis seperti ini:
“Ah, emang nanti di sana mau ngapain?”
“Males ah, ntar udah capek-capek sampe sana cuma foto-foto doang.”

Pernah juga suatu kali saya dan beberapa orang teman melakukan perjalanan panjang yang cukup melelahkan ke suatu tempat. Sampai di sana, salah seorang dari mereka hanya berkomentar, “Cuma begini doang? Ah sia-sia amat perjalanan susah-susah cuma kayak gini aja.”

Oh boi, saya langsung berpikir, sepertinya saya mengajak orang yang salah.

Bagi saya, jalan-jalan bukan hanya sekedar sampai ke tempat tujuan, melakukan suatu kegiatan di sana, lalu pulang. Jalan-jalan bagi saya adalah keseluruhan cerita, mulai dari perjalanan berangkat, di tempat tujuan, dan perjalanan pulang. Bahkan terkadang, saat saya begitu menikmati suatu perjalanan, destinasi tak lagi menjadi soal.

Tentang Perjalanan, dan Pergerakan

Orang berilmu dan beradab tidak akan diam di kampung halaman
Tinggalkan negerimu dan merantaulah ke negeri orang
Merantaulah, kau akan mendapatkan pengganti kerabat dan kawan
Berlelah-lelahlah, manisnya hidup terasa setelah lelah berjuang

Aku melihat air menjadi rusak karena diam tertahan
Jika mengalir menjadi jernih, jika tidak, kan keruh menggenang

Singa jika tak tinggalkan sarang tak akan dapat mangsa
Anak panah jika tak tinggalkan busur tak akan kena sasaran

Jika matahari di orbitnya tidak bergerak dan terus diam
Tentu manusia bosan padanya dan enggan memandang

Bijih emas bagaikan tanah biasa sebelum digali dari tambang
Kayu gaharu tak ubahnya kayu biasa saat masih di dalam hutan

-Imam Syafii-

Inspirasi

Saya menikmati perjalanan, seperti saya menikmati menulis dan membaca.

Terima kasih untuk Matatita, Andrei Budiman, Andrea Hirata, dan 24 Juli 2010 yang berharga, yang telah mencambuk saya untuk mengejawantahkan dan mengompilasi kecintaan saya pada perjalanan, menulis, dan membaca.

Maka, jadilah blog ini. Doakan saya agar tetap istiqamah dalam meng-update, haha.