Tuesday, November 22, 2011

Mengawali Ramadhan di Ungaran


“Aku mau sahur pertama di puncak gunung,” cetusku begitu saja tanpa dipikir ketika itu. Aku tak pernah menyangka, ide gila yang terlontar ringan dalam satu sesi obrolan geje itu akhirnya terwujud. Benar apa yang dikatakan Andrea Hirata dalam Edensor, ide-ide sinting memang selalu memiliki dua dimensi: dicemooh atau diikuti orang-orang frustrasi.
                                                      
Bersama empat orang frustrasi yang ‘terhasut’ sugestiku tentang betapa akan keren-sekali-kalau-bisa-sahur-pertama-di-puncak-gunung, kami memilih Gunung Ungaran sebagai tempat untuk melaksanakan ritual tersebut. Pertimbangannya, Gunung Ungaran tidak terlalu tinggi dan medannya tergolong tidak terlalu berat, sehingga yah bisalah kalau nanti kami turun gunung dalam keadaan berpuasa. Rencana kami: sampai di basecamp pendakian menjelang Magrib, shalat Magrib sekaligus menunggu waktu Isya dan menuntaskan shalat Tarawih, sampai puncak sekitar pukul 02.00 dini hari dan sahur di sana, istirahat beberapa jenak, kemudian turun sebelum matahari mulai tinggi dan menyengat terik. Sempurna!

Hanya saja, kenyataan memang kadang tidak sesuai harapan. Sampai di basecamp, kami mendapati kenyataan pahit bahwa tidak ada orang dan bangunan itu dikunci. Saat itu kami baru menyadari satu hal penting: sepertinya memang hanya kami yang nekat mendaki gunung di bulan puasa seperti ini. Maka di sanalah kami, terdampar di tanah rumput yang cukup lapang di samping basecamp. Sembari merapatkan jaket menahan deru angin gunung yang dinginnya menusuk ngilu, kami menghamparkan jas hujan sebagai alas dan menanti waktu shalat dengan gigi bergemeletuk. Dengung suara orang mengaji mulai terdengar dari pengeras suara masjid-masjid di bawah. Menatap pijar lampu-lampu kota yang terlihat jauh seperti bintang warna-warni, rasanya manusia jadi kecil sekali. Seorang teman mencoba menyalakan radio. “Siapa tau ada ceramah on air, biar kerasa udah masuk Ramadhan beneran nih,” ujarnya ambil mengutak-atik frekuensi. Dodolnya, alih-alih ceramah, yang tertangkap dari ketinggian basecamp ini ternyata hanya siaran dangdutan, hahahaha.

Usai Tarawih dan memastikan semuanya oke, kami memulai pendakian. Dua jam perjalanan pertama kami lalui tanpa hambatan berarti. Memasuki paruh kedua, jalur pendakian Ungaran mulai menunjukkan keganasannya. Treknya sempit dan terjal, dipenuhi batu-batu besar dan batang-batang pohon tumbang malang-melintang menghalangi jalan. Ditambah lagi, senter yang kupakai bermasalah sehingga beberapa kali aku harus memanjat bebatuan terjal dalam kegelapan hanya dengan mengandalkan feeling. Demi menyemangati diri sendiri, kami meneriakkan apa yang menjadi tekad kami ke sana, “Ayo nanti kita bikin sandwich buat sahur di puncak!” Kalimat motivasi yang cukup ampuh untuk terus memaksa kami melangkah rupanya, hahaha.

Mendekati pukul setengah tiga dini hari, kami tiba di puncak. Satu kata untuk puncak Ungaran: D.I.N.G.I.N. Hampir mendekati derajat dingin Gunung Sindoro ketika badai, padahal ketinggiannya jauh lebih rendah. Dengan tangan kebas mati rasa kedinginan, aku bersama dua orang teman cowok susah-payah mendirikan tenda. Setelah tenda siap, kami mulai bersiap memasak. Mataku mengerjap berbinar melihat bahan-bahan makanan yang kami bawa: roti, telur, keju, nugget, margarin, mie instan, jelly, jeruk, meses, sosis, energen, susu, kopi. Menggunakan alat masak seadanya –nesting dan kompor gas mini, kami berhasil membuat satu set menu yang sanggup membuat lidah berdecak dan cacing di perut menari-nari tak sabar. Menu utama: sandwich isi telur+nugget+keju+saos dan mie rebus sosis. Dessert: jelly jeruk tabur meses dan energen+susu+cappuccino. Makan besaar~! :D

Ditemani desau angin dan derik hewan malam, kami makan dalam diam. Lidah api yang tadi dinyalakan berbekal sepotong bara menjilat-jilat udara. Gurih telur dan nugget yang digoreng dengan margarin bercampur dengan lapisan keju yang lumer di lidah, nikmat sekali. “Ini sandwich terenak yang pernah kumakan,” lirih seorang teman dengan suara tercekat haru. Kami semua mengangguk sepakat. Segala kenekatan, perjuangan, lelah, frustrasi, keringat, gigil, rasanya terbayar. Ini adalah sahur paling luar biasa sepanjang hidup kami.

Tak berapa lama, samar-sama timbul-tenggelam terdengar suara serupa adzan Subuh nun dari kejauhan di bawah sana. Bertatapan satu sama lain, kami spontan saling mengucap, “Selamat menunaikan ibadah puasa…”
                                                                                                                              
menu sahur

P.s.:
sebenarnya ini catatan lama yang ditulis awal Ramadhan tahun ini, tetapi karena diikutkan ke suatu lomba dulu, jadi baru sekarang bisa di-publish, hehe.