Saturday, April 23, 2011

Menghargai Proses

Kau sudah berjalan sebegitu jauh, menempuh medan sebegitu berat, mati-matian, berpeluh, berjuang, lelah, terjungkal, bangkit lagi, terjatuh, mengaduh, tapi masih tetap bertahan melaju. Lantas, tinggal selangkah lagi sebelum mencapai tujuan, kau harus mundur. Seperti apa rasanya?

Dulu, kupikir, rasanya pasti akan seperti menelan pil pahit tanpa air. Menyesakkan.

*****

“Aku tunggu di sini atau ikut orang-orang yang turun aja.”
Mendengar kalimat terputus-putus pelan itu, aku tercekat. Menengadah, memicingkan mata mencoba menerka puncak. Seratus meter lagi, sayang.

“Jadi gimana, Mbak’e?”
Aku mengalihkan pandangan ke atas, beberapa teman lain berhenti berselang cukup jauh di depan, menanti. Aku berbalik, menatap kembali wajahnya yang meringis. Menghela nafas, menguatkan hati.
“Naik bareng, turun bareng. Tolong panggil yang lain, kita turun.”

*****

Dulu, kupikir, hal seperti itu akan terasa sangat menyakitkan. Tapi hey, ternyata tidak juga.

Sepanjang perjalanan turun, aku memikirkan banyak hal. Apa ini keputusan yang tepat? Atau seharusnya tadi biarkan saja yang lain naik? Tapi, akan seperti apa pula rasanya meninggalkan yang sakit sementara kami ‘bersenang-senang’ sendiri?

“Sunset!” Seruan takjub itu seketika membuyarkan solilokui-ku. Menatap langit jingga kemerahan, segenap perbendaharaan kata yang kupunya seolah menguap. Panorama matahari terbenam di balik tebing karang itu benar-benar menakjubkan. Cantik sekali.

Ah, seketika hatiku terasa lapang. Dengan keindahan seperti ini, dengan perjalanan semenakjubkan ini, se’gila’ ini, –mulai dari ‘diusir’ di basecamp Slamet sampai akhirnya ‘terdampar’ di Sumbing bersama orang-orang geje-, maka nikmat Tuhanmu yang mana lagi yang kau dustakan? Maka ketika kita telah begitu berjuang, apalagi yang perlu disesali?

Menghargai proses, bukan sekadar terobsesi pada hasil. Sepertinya itu pelajaran paling telak yang kudapat di pendakian kali ini. Sebenarnya, ketika mendaki gunung, apa yang kau cari? Puncaknya kah? Atau keping-keping pengalaman berharga yang terserak di sepanjang perjalanan naik dan turunnya?

“…bahwa mendaki gunung sesungguhnya bukanlah untuk menaklukkan puncaknya, tetapi untuk menaklukkan diri kita sendiri, agar jangan menyerah oleh hati yang lemah, tekad yang setengah-setengah, dan mimpi yang tak tentu arah.” -5 cm-


P.s.:
mengenang momen-momen geje-tapi-menakjubkan dari basecamp Slamet sampai (hampir) puncak Sumbing, 15-18 April 2011




2 comments:

  1. salsa, kalo kapan2 naik gunung lagi, aku diajak yaa.. heheh..
    eh, tp ini serius loh. :D

    ReplyDelete
  2. Hehe beneran nih? Mungkin sebelum uas aku mau naik gunung lagi

    ReplyDelete