Monday, August 8, 2011

[12 Hari Menggeje di Bosnia] Prologue: Going Out of My Comfort Zone

Kata Bu Muslimah seperti yang dikenang Andrea Hirata dalam Edensor, “Kalau ingin menjadi manusia yang berubah, jalanilah tiga hal ini: sekolah, banyak-banyak membaca Al-Quran, dan berkelana.”

Aku sepenuhnya sepakat dengan perkataan itu. Sekolah dan membaca Al-Quran, tentu saja. Seperti yang disebut pula oleh Ikal, karena pada kedua hal tersebut terdapat saripati ilmu. Namun, mengapa berkelana? Menurutku, karena berkelana memaksa manusia meninggalkan zona nyaman mereka.

12 hari di Bosnia, aku benar-benar keluar dari zona nyamanku. Sebolang-bolangnya aku, itu pertama kalinya aku pergi sejauh itu, sendirian. Bukan ke negara yang biasa didatangi warga negara Indonesia pada umumnya pula. Rasanya seperti memasuki belantara antah-berantah. Menggoda, menggelitik adrenalin gairah akan tantangan, membangkitkan debar dan tegang.

12 hari di Bosnia, aku merangkak lepas dari lingkaran budaya yang selama ini melingkupiku nyaman. Di sana, aku bertemu orang-orang dengan karakter, kebiasaan, dan pemikiran yang sama sekali berbeda. Melintasi benua dan samudera, segalanya terasa asing dan tak biasa. Mulai dari hal sepele seperti makanan dan toilet, sampai hal-hal yang bersifat prinsip seperti keyakinan dan identitas.

12 hari di Bosnia, aku tertatih meninggalkan jaring-jaring bahasa yang selama ini dengan nyaman kugunakan. Orang-orang di sana berbicara dengan bahasa yang tidak kupahami, dan aku berbicara dengan bahasa yang tidak mereka pahami. Jangankan bahasa Indonesia, sebagian besar penduduk di sana bahkan tidak bisa bahasa Inggris. Maka bayangkanlah, bagaimana tidak tambah nyasar, ketika aku bertanya di mana ‘railway station or bus station’ dan mereka tidak mengerti apa yang kutanyakan, hahaha.

12 hari di Bosnia, aku terseok dari kenyamanan menjadi mayoritas. Aku jadi mengerti mengapa ikatan di antara orang-orang dalam golongan yang sedikit bisa menjelma begitu kuat. Berada di posisi minor, seseorang cenderung mencari dan kembali pada akar kekerabatan terdekatnya. Sekadar tahu bahwa  masih ada segelintir yang 'sama' di tengah tekanan dominansi yang berbeda, rasanya bertahan dan tegar jadi lebih mudah.

Ada pepatah, ‘seenak-enaknya hujan emas di negeri orang, masih lebih baik hujan batu di negeri sendiri’. Dulu aku seringkali berpikir: ah, bodoh sekali pepatah itu, untuk apa bertahan dalam hujan batu kalau bisa mendapatkan hujan emas. Sekarang, setelah merasakan seperti apa rasanya hidup sendiri di negeri orang meski hanya sebentar, aku baru bisa memahami mengapa si pembuat pepatah mengatakan seperti itu. 12 hari di luar sana membuatku menyadari, ternyata aku mencintai tanah air ini, mencintai segala hal berharga yang ada di sini.



P.s:
Tulisan ini adalah prolog dari serangkaian catatan berikutnya tentang 12 hari petualangan gejeku di negeri orang, 11-22 Juli lalu. Sedikit merasa bersalah, baru sok-sempat menulis setelah lewat hampir sebulan begini. Semoga ‘niat baik’ untuk merampungkan keseluruhan cerita ini tidak tersendat di tengah jalan, haha.



Yogyakarta, 8 Agustus 2011
14.58 WIB

2 comments:

  1. ahhh iyaa.. dari kemaren mau nanya. kamu ke bosnia dalam rangka apa saa?? eheheh..

    ReplyDelete
  2. Waa ga sadar ada komen, maaf melyn, hehe.
    Dalam rangka ekskavasi...

    ReplyDelete