Friday, June 29, 2012

Niat

Ada dua tipe niat ketika memberikan uang kepada pengamen: sebagai apresiasi, atau agar ia cepat pergi.

Fragmen #1
Di atas sebuah bus kota,
Pengamen: Selamat siang Bapak Ibu Mbak Mas Adek sekalian.. jrengg… (dan mengalirlah lagu Galang Rambu Anarki-nya Iwan Fals yang digubah dengan keren sekali)
Penumpang: (berbisik-bisik) (membuka dompet) (mengeluarkan lembaran rupiah tanpa ragu)

Fragmen #2
A dan B sedang makan di sebuah warung kaki lima pinggir jalan,
Pengamen: Halo maaass, werewerewerewrer (nggak jelas lagu apa yang kemudian dinyanyikan). Masnya ganteng deehh… (mulai berkeliling sambil sesekali colek-colek)
A: Punya receh?
B: Nggak, buat apa?
A: Itu (mengedikkan bahu ke arah sang pengamen, tanpa melirik sama sekali). Biar cepet pergi.
B: Hahaha, yaudah sih, nggak usah dikasih.
A: Nggak pergi-pergi dia nanti, serem tau (dengan rona wajah pasi).

Mengamen, murni menjual daya tarik suara dan permainan alat musik, atau eufimisme dari pekerjaan mengemis?


Yogyakarta, 29 Juni 2012
teringat seorang teman yang trauma dicolek-colek ‘pengamen’, hahaha.

Monday, March 19, 2012

[South Celebes] Toraja: Tempat Orang Hidup Berdampingan dengan yang Mati (Part 2)

Part 1: http://ekstasejalanan.blogspot.com/2012/03/south-celebes-toraja-tempat-orang-hidup.html

Saya mengerjap ketika Mbak Eva membuka jendela kecil di hadapan papan tempat tidur kami, membuat seberkas cahaya menerobos masuk, menyilaukan. Melirik jam tangan, sudah jam sembilan! Tak lama, Mbak Marla masuk dan meminta kami menuju alang. Kami mengangguk dan bergegas turun.

Di mata saya yang awam ini, alang terlihat agak mirip tongkonan, hanya saja berukuran lebih kecil dan lebih sederhana. Bagian dalamnya hanya terdiri dari satu bilik tempat menyimpan padi. Dengan model seperti rumah panggung, bilik kecil itu disangga tiang yang tinggi, membuatnya terkesan jangkung. Bagian bawah alang yang terbuka biasanya digunakan untuk menerima tamu. Seperti bale-bale  dalam kebudayaan Betawi, mungkin. Ada empat alang berjejer menghadap tongkonan yang tadi kami tempati. Di salah satu alang tersebut, sudah ada sepiring pisang rebus dan gelas-gelas berisi teh dan kopi yang uapnya masih mengepul.

Sambil menikmati hidangan, kami berbincang santai. Mbak Marla meminta kami sudah siap sekitar pukul setengah 12, karena upacara akan dimulai tepat setelah matahari melewati sumbu tengahnya. Secara umum, upacara di Toraja dibagi menjadi dua jenis, upacara yang berkaitan dengan kelahiran atau syukuran dan upacara yang berkaitan dengan kematian. Upacara syukuran biasanya dilakukan pagi hari, sementara upacara yang berkaitan dengan kematian baru dilakukan setelah matahari tergelincir ke arah barat. Ketentuan itu didasarkan pada filosofi pergerakan matahari dari timur ke barat sebagai representasi kehidupan dan kematian.

Mbak Marla bercerita bahwa upacara yang akan kami hadiri siang ini adalah upacara mengarak jenazah keliling kampung. Pemakamannya sendiri baru akan dilangsungkan beberapa hari kemudian. Di Toraja, upacara kematian, khususnya bagi orang-orang yang mempunyai kedudukan atau pemuka adat, memang bukan hal yang sederhana. Rangkaian acara puncak upacaranya sendiri bisa sampai seminggu, terdiri dari prosesi arak-arakan, penerimaan tamu, penyembelihan kerbau dan babi, sampai pemakaman. Persiapannya bisa memakan waktu jauh lebih lama lagi. Semakin tinggi kedudukan orang tersebut, semakin meriah upacaranya, semakin banyak dan istimewa kerbau yang harus disembelih nantinya.


Arak-arakan

Sedikit kesulitan mendapat angkutan umum, saya dan Mbak Marla terlambat sampai ke lokasi upacara, tongkonan Randan Batu. Arak-arakan jenazah sudah berangkat. Tepat sebelum perasaan kecewa menenggelamkan saya, Mbak Marla menenangkan. Ia berkata bahwa tak lama lagi rombongan arak-arakan akan tiba kembali dan kami bisa mengikuti prosesi berikutnya.

Sekitar lima belas menit berselang, bunyi tabuhan gong membahana di udara. Tak berapa lama, beberapa laki-laki berpakaian hitam berjalan dalam barisan memanjang ke belakang, masing-masing membawa batangan bambu panjang tipis berbendera yang tampaknya berfungsi seperti panji-panji. Di belakang mereka, sumber suara tabuhan tadi muncul: dua orang laki-laki berpakaian senada memikul gong dengan bantuan sebilah bambu. “Kalau pake gong, tandanya orang yang diupacarakan itu kedudukannya tinggi,” tutur Mbak Marla. Pembawa gong tersebut diikuti lagi oleh orang-orang yang membawa panji-panji.

Setelah pembawa gong dan panji-panji, berikutnya adalah kerbau besar yang dipilih sebagai simbol dari puluhan kerbau lain yang nantinya akan dikurbankan. Untuk upacara kematian bangsawan tinggi, jumlah kerbau yang dikurbankan minimal 24 ekor. Selain jumlah, jenis kerbau yang diarak juga dapat menunjukkan status sosial si mati. Yang paling istimewa adalah kerbau belang. Jenisnya yang langka membuat harganya melambung tinggi. “Bisa mencapai 200 juta seekor,” ungkap Mbak Marla datar, membuat saya berdecak. Kerbau kurban itu diikuti oleh serombongan laki-laki berpakaian hitam, salah satunya membawa foto orang yang meninggal. Di belakang mereka, berjalan serombongan perempuan berpakaian hitam atau putih.

Ada jeda beberapa menit sampai akhirnya rombongan utama tiba. Dari kejauhan, sebuah keranda merah beratap serupa tongkonan tampak berkilau tertimpa sinar matahari siang. Keranda itu diusung oleh lebih dari sepuluh laki-laki. Di depan mereka, belasan perempuan berjalan berbanjar menjunjung kain merah panjang. Sorakan ritmis dalam bahasa yang tidak saya pahami dan dentum tumbukan alu bertalu-talu dari lapangan tempat upacara menyambut kedatangan rombongan pengusung keranda tersebut. Berderap pasti, mereka menuju ke tengah lapangan, meletakkan keranda di tanah dengan gerak menyentak. Sorak dan segenap suara serentak berhenti, lalu hening.

(bersambung)








[South Celebes] Toraja: Tempat Orang Hidup Berdampingan dengan yang Mati (Part 1)

Mendengar kata Toraja, apa yang pertama kali terlintas di benak? Legenda mayat berjalan, begitu komentar seorang teman di status saya. Benarkah?

Dari Terminal Daya, Makassar, perjalanan menuju Toraja dapat ditempuh dengan menggunakan bus selama kurang-lebih  delapan jam kalau berangkat malam hari, sedikit lebih lama kalau berangkat pagi hari. Tarif bus bervariasi tergantung fasilitas yang ditawarkan, antara 60.000 - 100.000 rupiah sekali jalan.

Secara administratif, Toraja terbagi menjadi dua kabupaten, Kabupaten Tana Toraja yang berpusat di Makale dan Kabupaten Toraja Utara dengan ibu kota di Rantepao. Meski begitu, secara adat, Tana Toraja dan Toraja Utara tetaplah merupakan satu kesatuan yang terbagi lagi menjadi 32 wilayah adat dan lebih banyak subwilayah adat. Di masing-masing wilayah adat dan subwilayah adat, ada rumah adat yang disebut tongkonan, tempat pemangku adat dan keluarganya tinggal.

Seperti yang sudah saya tulis di catatan sebelumnya, meski nekat, perjalanan ini bukan berarti tanpa persiapan. Sebelum berangkat, saya sempat sedikit bertanya-tanya pada seorang dosen yang pernah beberapa kali ke Toraja. Dosen tersebut kemudian menyebut nama Mbak Marla di tongkonan Buntupune, Toraja Utara. Sayangnya, tidak ada nomor telepon untuk dihubungi sebelumnya. Meski begitu, sang dosen meyakinkan saya bahwa tempat Mbak Marla yang juga merupakan alumni arkeologi Universitas Hasanuddin ini pasti tidak sulit ditemukan. Katakan saja pada kondektur bus untuk diturunkan di jalan menuju Ke’te Kesu, pasti mereka tahu. Buntupune memang terletak tidak jauh dari salah satu objek wisata andalan Toraja itu. Maka, ke sanalah saya menuju.

Menggunakan bus malam, saya tiba di Toraja pukul setengah lima dini hari. Oleh kondektur bus, saya diturunkan di pertigaan patung kerbau. Untuk menuju tongkonan Buntupune, dari sana masih harus berjalan sekitar 500 meter lagi. Bisa juga menggunakan ojek atau becak motor yang memang ngetem di pertigaan tersebut.

Gonggongan anjing sahut-menyahut menyambut begitu saya menginjakkan kaki memasuki area tongkonan. Menatap sekeliling, saya terperangah. Dalam remang siluet subuh, ada enam bangunan yang tampak serupa di halaman tengah. Di belakangnya, ada bangunan lagi berbentuk memanjang. Pintu mana yang harus saya ketuk? Langkah saya semakin surut ketika seekor anjing berlari mendekat sambil terus menyalak ribut. Menenangkan diri dan berlagak seolah yakin, saya melangkah ke arah bangunan memanjang di belakang dan mulai mengetuk pintu. Sekali ketuk, tidak ada jawaban. Dua kali, tiga kali, empat kali ketuk, sama saja. Anjing itu mulai mengitari saya dan mengendus-endus. Saya mulai ketar-ketir, merutuki kenapa saya tidak menghubungi terlebih dahulu. Tapi, mau menghubungi ke mana memangnya? Nyaris putus asa, pada ketukan kelima, terdengar suara seorang wanita menyahut dari dalam. Tak lama, seraut wajah menyembul membukakan pintu. “Mbak Marla?” tanya saya harap-harap cemas. Wanita itu mengangguk dengan ekspresi bingung. Ah syukurlah, Tuhan memang maha baik!

Ditemani kepulan uap tipis dari teh panas yang disuguhkan di dinginnya subuh buta itu, saya dan Mbak Marla berkenalan dan berbincang singkat. Menjelaskan kalau saya adalah mahasiswa arkeologi UGM, dapat nama Mbak Marla di tongkonan Buntupune dari seorang dosen, dan blablabla. “Kamu nanti malam tidur di tongkonan ya, nggak papa kan?” Tawaran Mbak Marla itu serta merta membuat saya melonjak girang. Tentu saja! Belum reda euforia saya membayangkan akan tidur di rumah adat yang eksotis itu, Mbak Marla kembali berbicara. “Oh ya, kebetulan sekali, hari ini ada arak-arakan jenazah upacara kematian pemangku adat desa Randan Batu. Nanti ikut keluarga kami saja.” Saya tidak bisa lebih jungkir-balik lagi. Seperti yang dikatakan seorang teman, belum sempurna rasanya pergi ke Toraja kalau belum menyaksikan upacara kematian. Padahal, tidak setiap saat ada ritual tersebut. Keberuntungan ganda! :D

Selesai menghabiskan penganan yang disuguhkan, Mbak Marla mengantar saya ke tongkonan untuk meletakkan barang bawaan dan beristirahat. Ternyata, enam bangunan yang tadi bagi saya terlihat serupa itu tidak semuanya tongkonan. Ada dua tongkonan berjajar di sebelah timur dan barat, dan empat alang (lumbung padi) yang berukuran lebih kecil di hadapannya. Kami menuju tongkonan yang paling barat. Untuk memasuki bagian utama rumah, kami harus menaiki tangga kayu yang sempit dan curam. Mbak Marla sempat memperingatkan saya untuk menunduk, karena ada palang kayu yang melintang di pertengahan jalan menuju ke atas. Sayangnya terlambat, haha -,-.

Menjejakkan kaki di bagian utama rumah, aroma kayu yang khas menyergap indera penciuman saya. Gelap. Mbak Marla menyalakan lampu tengah yang cahayanya sudah temaram. Perlahan, mata saya mulai mengenali keadaan. Bagian rumah ini terbagi menjadi tiga bilik. Dari ketiganya, hanya bilik paling belakang yang disekat sempurna, itupun dengan dinding kayu yang tidak rapat susunannya. Dua bilik di depannya hanya dipisahkan oleh perbedaan ketinggian lantai dan beberapa tiang. Ada seseorang yang tampaknya tertidur di bilik paling depan. Selain itu, kosong. Tidak ada kamar mandi, dapur, atapun ruangan pelengkap lain yang biasa ada di rumah modern lainnya.

Mbak Marla menggiring saya memasuki bilik paling belakang, melewati pintu seadanya setinggi setengah badan saya. Di sana sudah ada seorang perempuan yang tampaknya terbangun mendengar kedatangan kami. Masih setengah tidur, ia memperkenalkan dirinya sebagai Eva, dosen psikologi Universitas 45 yang sedang mengadakan penelitian di Toraja. Mbak Marla memberi isyarat agar saya beristirahat dulu beberapa jenak, sembari mengingatkan bahwa nanti siang kami akan menghadiri upacara kematian. Saya mengangguk dan merebahkan diri di sebelah Mbak Eva.  Diiringi gonggongan anjing yang terdengar lirih dan semilir angin dari jendela kecil yang tidak bisa ditutup rapat, saya memejamkan mata. Gelitik penasaran yang sudah hampir meledakkan kepala ini tampaknya masih harus bersabar beberapa saat lagi.

(bersambung)

[South Celebes] Gerbang menuju Timur

“Your local time: 09.44, GMT+8.00. Accept update?”

Itu tulisan yang muncul begitu saya menyalakan telepon genggam, sesaat setelah meninggalkan landasan pacu pesawat dan menginjakkan kaki memasuki gedung Bandar Udara Internasional Sultan Hasanuddin, Makassar. Berjarak 8 jam garis waktu imajiner dari meridian di Greenwich sana, satu jam lebih cepat dibanding Yogyakarta, Makassar berada dalam zona Waktu Indonesia bagian Tengah (WITA). WITA sisi timur, lebih tepatnya.

Mengelilingi Nusantara. Melihat negeri ini tanpa jarak. Melebur dalam masyarakat yang sebenarnya, bukan sekadar bersesakan dalam kerumunan raga bergerak di ibukota. Atas nama pemberontakan sunyi terhadap Jawa-sentrisme yang begitu nyata, Indonesia timur begitu menggoda saya. Dan Makassar adalah jalan menuju ke sana.

Makassar memang dikenal sebagai pintu masuk menuju Indonesia timur. Sejak dulu, ketika orang-orang dari benua seberang tergoda aroma rempah yang menguar dari gugus kepulauan timur Nusantara, Makassar telah menjadi bandar dagang utama. Di masa sekarang, kota ini adalah titik transit yang penting. Semua pesawat dan kapal penumpang dari belahan barat Indonesia harus mendarat dan berlabuh dulu di Makassar, sebelum kemudian melanjutkan perjalanan terus ke timur, seperti ke Ambon atau Sorong. Inilah gerbang yang menghubungkan bagian barat dan timur Indonesia kita.

Meski begitu, jujur saja, Makassar bukan tempat yang menarik bagi saya untuk tinggal. Kota ini tak ubahnya kota-kota besar lain seperti Jakarta, Surabaya, atau Denpasar. Begitu keluar dari bandara, sengatan hawa panas langsung menyergap. Tiba di jalan raya, lajur kendaraan tampak tak beraturan. Motor, mobil pribadi, pete-pete (angkot), becak, bus besar, semua saling berebut tempat paling depan. Pekik klakson bersahut-sahutan memekakkan telinga, membuat pejalan kaki hanya bisa menggerundel dan menghela nafas lelah. Semrawut. Namun bagaimanapun, kota ini adalah gerbang untuk menuju ke timur. Maka, demi mimpi yang selalu mencari celah kesempatan untuk mewujud nyata, sepertinya suatu hari nanti saya akan menjumpai kota ini kembali, eh?


Yogyakarta, 13 Februari 2012
catatan perjalanan Sulawesi Selatan, 29 Januari-2 Februari ‘12

[South Celebes] Pergi Sendiri?

“Dari mana?”
“Dari Jogja.”
“Jogja yang di Jawa itu? Sama siapa ke sini?”
“Sendiri.”
“Hah? Sendiri? Ada keluarga di sini?”
“Nggak ada.”
“Hah? Nggak ada? Sebelumnya udah pernah ke sini?”
“Belum pernah, ini pertama kali.”
“Hah? Baru pertama kali? Bisa sampe sini sendiri? Wah ckckck…”
Hahaha -,-

Lima hari berkelana di sisi selatan Celebes, bukan sekali dua kali percakapan serupa di atas terjadi. Sebenarnya, awalnya saya akan pergi berdua dengan seorang teman. Namun karena satu dan lain hal, sekitar dua atau tiga hari sebelum keberangkatan, teman tersebut tiba-tiba tidak bisa ikut pergi. Padahal, perjalanan ini sudah direncanakan jauh-jauh hari, tiket pulang pergi juga sudah dibeli, sayang sekali kalau sampai batal begitu saja. Maka begitulah, saya pun bertekad tetap pergi meski sendiri.

Menjelang hari keberangkatan, beberapa kali ragu dan khawatir mencoba mengayun bimbang. Kamu ini perempuan lho, beneran mau pergi sendiri? Kamu kan belum pernah ke sana, belum tau medannya seperti apa. Bagaimana kalau nanti ada masalah di sana, di tempat yang kulturnya mungkin tidak sama dengan di Jawa? Mau menginap di mana nanti di sana? Apalagi kamu juga berniat ke Toraja, yang kemungkinan besar sulit mencari makanan halal, mau makan apa di sana nanti? Bagaimana kalau nanti… bagaimana kalau nanti… bagaimana kalau nanti…  dan segala macam bagaimana-kalau-nanti lainnya.

Dipikir-pikir, perjalanan ini memang sepertinya nekat sekali, hahaha. Meski begitu, nekat bukan berarti tanpa persiapan sama sekali. Syukurlah sekarang ada teknologi bernama internet. Berbekal potongan-potongan informasi yang terserak di berbagai laman internet, sedikitnya saya tidak buta sama sekali tentang tempat-tempat yang ingin saya datangi di Sulawesi Selatan. So, life must go on, eh? Berangkat!

Dan begitulah, meski sendiri, saya tidak pernah menyesal bersikeras tetap pergi. Tersasar di Bandara Sultan Hasanuddin. Terpekur di bus Damri. Membelah jalanan Makassar dengan pete-pete. Mengelilingi benteng-benteng kota yang menjadi saksi bahwa kolonial pernah bercokol di sini. Sekali-kalinya terjebak naik bus eksekutif super mewah dengan fasilitas hotspot. Menjejak Toraja yang eksotis, tempat orang hidup berdampingan dengan yang mati. Menyaksikan rangkaian ritual upacara kematian yang meriah. Bersepeda naik-turun bukit. Memanjat tebing menuju tempat Patane tertua. Merangkak tertatih di antara tengkorak dan belulang yang terserak. Menerobos celah sempit gua-gua prasejarah di Maros. Berlari terengah mengejar jam keberangkatan pesawat. Semuanya.

Dan begitulah, meski sendiri, saya tidak pernah merasa sepi. Sepanjang lima hari menjajaki belahan bumi Indonesia tengah sisi timur ini, entah berapa banyak teman baru yang saya dapatkan, entah berapa banyak kemudahan yang datang begitu saja. Kita memang tidak pernah benar-benar sendiri :)


Yogyakarta, 3 Februari 2012
catatan perjalanan Sulawesi Selatan, 29 Januari - 2 Februari '12
warming up