Wednesday, February 9, 2011

Turun

"Ini nanti turunnya gimana ya?"

Itu yang selalu ada dalam pikiran saya setiap kali naik gunung. Bebatuan terjal, tanah miring licin, akar-akaran yang melintang menjegal. Naik memang melelahkan dan membuat nafas tersengal. Tapi entah kenapa, turun selalu lebih sakit dan mengerikan. Bahkan sekadar membayangkan atau memikirkannya.

Hidup pun, rasanya seperti itu. Naik, menuju target yang lebih tinggi, memang melelahkan.  Banyak rintangannya, mulai dari faktor internal (baca: mental, keragu-raguan), orang-orang di sekitar, lingkungan yang rasanya tidak mendukung (misal: badai), dan berjuta dalih lainnya. Butuh perjuangan, usaha, strategi, visi, kesabaran, ketelatenan, pantang menyerah. Berat.

Tapi, turun dari ‘ketinggian’ ternyata lebih mengerikan. Tidak semelelahkan naik dan tidak membuat terengah-engah seperti naik, sih. Hanya saja, rasanya, lebih sakit. Apalagi kalau turunnya disertai jatuh terjungkal, terpeleset, tersandung, terluka, dan terkilir.

Naik memang berat, tapi turun lebih mengerikan. Sayangnya, dalam hidup yang siklis, naik dan turun adalah niscaya. Yeah, mungkin sebaiknya berharap saja, agar ketika ‘turun’ nanti baik-baik saja.


P.s.:
catatan ringan nan super singkat bin geje ini ditulis sebagai 'jejak' pendakian Sindoro, 5-6 Februari 2011

Wednesday, February 2, 2011

Baduy: Antara Eksotisme Adat dan Mafia Pariwisata

Menyebut Baduy adalah menyebut salah satu suku adat yang masih tersisa di Indonesia. Menempati perbukitan di ujung barat Pulau Jawa, aturan yang berlaku di antara mereka adalah aturan adat. Cara hidup, pernikahan, mata pencaharian, dan segala aspek kehidupan lainnya. Adat yang tetap dipegang di tengah gempuran modernisasi itulah yang menggelitik perhatian sebagian kalangan. Termasuk saya.

Dari Jakarta, perjalanan menuju Baduy bisa diawali dengan kereta jurusan Rangkasbitung. Perjalanan dua sampai tiga jam dari Stasiun Tanah Abang itu dikenakan tarif dua ribu untuk kereta ekonomi biasa, dan empat ribu untuk kereta ekonomi AC. Dari Stasiun Rangkasbitung, dilanjutkan dengan angkot merah menuju stasiun Aweh, tiga ribu rupiah. Dari Terminal Aweh ini ada angkutan umum berupa elf tujuan Ciboleger, dengan waktu tempuh sekitar satu setengah jam. Tarif normalnya dua belas ribu rupiah per orang. Perlu diingat, itu tarif normal.

Bukan perjalanan mudah

Turun di Terminal Ciboleger, perjalanan sesungguhnya menuju Baduy baru akan dimulai. Jarak dari Ciboleger sampai Desa Cibeo, Baduy Dalam sekitar 12 kilometer. Jarak itu harus ditempuh dengan berjalan kaki, karena kendaraan hanya diizinkan sampai Ciboleger. Ciboleger termasuk dalam kawasan Bojongmenteng, belum memasuki wilayah Baduy. Rumah-rumah di sini sudah berdinding bata, bahkan ada Alfamart segala. Tak jauh dari terminal, ada warung kopi besar dengan empat kamar mandi umum gratis. Sebaiknya, tuntaskan segala urusan MCK di sini, karena ini adalah kamar mandi terakhir yang kami jumpai. Di sini, kami diberitahu bahwa saat ini sedang bulan Kawaluh, bulan sucinya orang Baduy. Karena itu, masuk ke sana tidak bisa sembarangan. Kami pun diminta membeli minyak dan kemenyan sebagai bawaan untuk kepala suku sana. Meski sambil mengangkat alis, tak ayal kami menuruti permintaan tersebut. Daripada nggak bisa masuk, udah jauh-jauh sampe sini, masa langsung pulang lagi, begitu pikir kami ketika itu.


Alfamart di Ciboleger


Tujuan pertama kami adalah kantor lurah Kanekes, desa terluar di Baduy Luar, untuk mengisi buku tamu dan membayar biaya administrasi Rp 10.000,00 per rombongan. Memasuki Desa Kanekes, ada site marker berupa gapura dan papan kayu bertuliskan hak ulayat Baduy. Bahwa kami telah memasuki wilayah Baduy, dan dilarang bla bla bla. Yang menarik, ada logo ‘sinyal kuat Indosat’ di gerbang dan papan tersebut. Pesan sponsor, eh? (Padahal Indosat juga nggak dapet sinyal di Baduy Dalam dan sebagian Baduy Luar, haha -,-)


Site marker kawasan Baduy, papan hak ulayat
Medan jalan menuju Baduy sama sekali bukan trek yang mudah. Agar tidak terlalu malam sampai ke Baduy Dalam, kami berangkat melewati jalur hutan, tidak melewati perkampungan Baduy Luar. Sahut-menyahut suara kodok dan alunan desir angin yang mengalir melewati lubang bambu mengiringi langkah kami. Tanjakan dan turunan terjal, bebatuan licin, tanah merah becek, hujan yang angin-anginan, dan beberapa faktor lain (seperti Hanifah yang salah kostum sepatu xp) sedikit-banyak membuat rombongan kami tidak bisa berjalan terlalu cepat. Beberapa kali kami disusul oleh bapak-bapak Baduy yang bertelanjang kaki, berjalan cepat tanpa ragu, tanpa khawatir luka tergores-gores dan terantuk batu. Hebat.

Karena memang berangkat terlalu sore, malam di jalan pun tidak bisa dielakkan. Maka senter menjadi benda yang sangat berharga. Angin dingin berhembus semilir, membuat bulu kuduk meremang. Menengok ke belakang, yang ada hanyalah kegelapan pekat. Derik jangkrik sesekali terdengar, memecah sunyi, menghadirkan aura alam bebas yang mistis.

Bermalam di Baduy Dalam

Menempuh sekitar tiga setengah jam perjalanan, akhirnya kami sampai di Desa Cibeo. Setelah mencuci kaki di sungai, Kang Sarid, pemandu kami, langsung menunjukkan jalan ke rumah penduduk tempat kami akan numpang menginap. Dinding dan lantai rumah itu terbuat dari anyaman bambu. Kalau kami berjalan, akan muncul bunyi kriet… kriet… dari lantai bambu yang terinjak. Tiang-tiang penopangnya dari batang bambu, dan atapnya dari rumbia. Khas sekali. Rumah panggung itu hanya memiliki dua ruangan, ruang depan dan ruang belakang tempat dapur. Tanpa kamar khusus. Kami celingak-celinguk mencari tempat ganti baju. Pak Sarminah, tuan rumah kami, akhirnya menggantungkan kain berbahan seperti goni di salah satu sudut ruangan, sebagai tirai untuk tempat ganti baju. Saya jadi teringat kamar pas di toko-toko busana. Ini versi tradisionalnya kali ya --‘