Wednesday, February 2, 2011

Baduy: Antara Eksotisme Adat dan Mafia Pariwisata

Menyebut Baduy adalah menyebut salah satu suku adat yang masih tersisa di Indonesia. Menempati perbukitan di ujung barat Pulau Jawa, aturan yang berlaku di antara mereka adalah aturan adat. Cara hidup, pernikahan, mata pencaharian, dan segala aspek kehidupan lainnya. Adat yang tetap dipegang di tengah gempuran modernisasi itulah yang menggelitik perhatian sebagian kalangan. Termasuk saya.

Dari Jakarta, perjalanan menuju Baduy bisa diawali dengan kereta jurusan Rangkasbitung. Perjalanan dua sampai tiga jam dari Stasiun Tanah Abang itu dikenakan tarif dua ribu untuk kereta ekonomi biasa, dan empat ribu untuk kereta ekonomi AC. Dari Stasiun Rangkasbitung, dilanjutkan dengan angkot merah menuju stasiun Aweh, tiga ribu rupiah. Dari Terminal Aweh ini ada angkutan umum berupa elf tujuan Ciboleger, dengan waktu tempuh sekitar satu setengah jam. Tarif normalnya dua belas ribu rupiah per orang. Perlu diingat, itu tarif normal.

Bukan perjalanan mudah

Turun di Terminal Ciboleger, perjalanan sesungguhnya menuju Baduy baru akan dimulai. Jarak dari Ciboleger sampai Desa Cibeo, Baduy Dalam sekitar 12 kilometer. Jarak itu harus ditempuh dengan berjalan kaki, karena kendaraan hanya diizinkan sampai Ciboleger. Ciboleger termasuk dalam kawasan Bojongmenteng, belum memasuki wilayah Baduy. Rumah-rumah di sini sudah berdinding bata, bahkan ada Alfamart segala. Tak jauh dari terminal, ada warung kopi besar dengan empat kamar mandi umum gratis. Sebaiknya, tuntaskan segala urusan MCK di sini, karena ini adalah kamar mandi terakhir yang kami jumpai. Di sini, kami diberitahu bahwa saat ini sedang bulan Kawaluh, bulan sucinya orang Baduy. Karena itu, masuk ke sana tidak bisa sembarangan. Kami pun diminta membeli minyak dan kemenyan sebagai bawaan untuk kepala suku sana. Meski sambil mengangkat alis, tak ayal kami menuruti permintaan tersebut. Daripada nggak bisa masuk, udah jauh-jauh sampe sini, masa langsung pulang lagi, begitu pikir kami ketika itu.


Alfamart di Ciboleger


Tujuan pertama kami adalah kantor lurah Kanekes, desa terluar di Baduy Luar, untuk mengisi buku tamu dan membayar biaya administrasi Rp 10.000,00 per rombongan. Memasuki Desa Kanekes, ada site marker berupa gapura dan papan kayu bertuliskan hak ulayat Baduy. Bahwa kami telah memasuki wilayah Baduy, dan dilarang bla bla bla. Yang menarik, ada logo ‘sinyal kuat Indosat’ di gerbang dan papan tersebut. Pesan sponsor, eh? (Padahal Indosat juga nggak dapet sinyal di Baduy Dalam dan sebagian Baduy Luar, haha -,-)


Site marker kawasan Baduy, papan hak ulayat
Medan jalan menuju Baduy sama sekali bukan trek yang mudah. Agar tidak terlalu malam sampai ke Baduy Dalam, kami berangkat melewati jalur hutan, tidak melewati perkampungan Baduy Luar. Sahut-menyahut suara kodok dan alunan desir angin yang mengalir melewati lubang bambu mengiringi langkah kami. Tanjakan dan turunan terjal, bebatuan licin, tanah merah becek, hujan yang angin-anginan, dan beberapa faktor lain (seperti Hanifah yang salah kostum sepatu xp) sedikit-banyak membuat rombongan kami tidak bisa berjalan terlalu cepat. Beberapa kali kami disusul oleh bapak-bapak Baduy yang bertelanjang kaki, berjalan cepat tanpa ragu, tanpa khawatir luka tergores-gores dan terantuk batu. Hebat.

Karena memang berangkat terlalu sore, malam di jalan pun tidak bisa dielakkan. Maka senter menjadi benda yang sangat berharga. Angin dingin berhembus semilir, membuat bulu kuduk meremang. Menengok ke belakang, yang ada hanyalah kegelapan pekat. Derik jangkrik sesekali terdengar, memecah sunyi, menghadirkan aura alam bebas yang mistis.

Bermalam di Baduy Dalam

Menempuh sekitar tiga setengah jam perjalanan, akhirnya kami sampai di Desa Cibeo. Setelah mencuci kaki di sungai, Kang Sarid, pemandu kami, langsung menunjukkan jalan ke rumah penduduk tempat kami akan numpang menginap. Dinding dan lantai rumah itu terbuat dari anyaman bambu. Kalau kami berjalan, akan muncul bunyi kriet… kriet… dari lantai bambu yang terinjak. Tiang-tiang penopangnya dari batang bambu, dan atapnya dari rumbia. Khas sekali. Rumah panggung itu hanya memiliki dua ruangan, ruang depan dan ruang belakang tempat dapur. Tanpa kamar khusus. Kami celingak-celinguk mencari tempat ganti baju. Pak Sarminah, tuan rumah kami, akhirnya menggantungkan kain berbahan seperti goni di salah satu sudut ruangan, sebagai tirai untuk tempat ganti baju. Saya jadi teringat kamar pas di toko-toko busana. Ini versi tradisionalnya kali ya --‘

Sembari menunggu kami ganti baju dan shalat, Bu Sarminah memasakkan beras, mie, dan telur yang kami bawa untuk makan malam. Lapar dan lelah memang luar biasa, membuat menu sederhana itu terasa sangat nikmat. Terlebih, karena di Baduy Dalam tidak ada listrik, apalagi lampu listrik, makan malam itu hanya diterangi sebatang lilin. Romantis xp.

Selesai makan, kami mengobrol sebentar dengan Kang Sarid dan empunya rumah, Pak dan Bu Sarminah. Nama kedua orang tua itu bukanlah nama asli mereka. Sarminah adalah nama anak mereka yang pertama. Setelah mempunyai anak, nama asli orang Baduy biasanya tidak digunakan lagi. Pasangan ini memiliki lima orang anak, tiga perempuan dan dua laki-laki. Tiga anak tertua sudah menikah, dan dua lagi masih berumur tujuh dan sembilan tahun.

Kami berbincang tentang banyak hal. Tentang kepercayaan Sunda Wiwitan yang dianut orang Baduy, yang mempercayai bahwa nabi mereka adalah Adam, bukan Muhammad. Tentang bulan dan puasa Kawaluh. Tentang pernikahan, perayaan, dan kesetiaan pada pasangan. Tentang kelahiran dan dukun beranak. Tentang relasi antar-keluarga. Tentang tidak diperbolehkannya anak-anak untuk sekolah formal. Tentang orang-orang ‘tua’ yang memiliki kekuatan kebatinan. Tentang Pu’un (kepala suku) yang memiliki kuasa. Tentang peralatan penunjang hidup yang sangat sederhana. Tanpa sabun, tanpa barang elektronik, tanpa listrik. Tentang beberapa orang yang tidak tahan, dan akhirnya memilih keluar dari perkampungan. Tentang adat, yang merasuk dalam segenap sendi kehidupan mereka.

Malam semakin larut. Tak berapa lama, kami pun tertidur. Angin malam menyelusup melalui celah-celah lantai anyaman, membuat lidah api lilin yang terpancang di sudut ruangan menari-nari. Selain suara Dewan yang bersin berkali-kali, tidak ada suara lain. Tidak ada deru mesin, tidak ada dering SMS atau telepon yang meneror. Hening. Damai.

Jampi Kepala Suku

Bangun di pagi buta, jangan berharap mendengar adzan Shubuh. Sebagai penganut kepercayaan Sunda Wiwitan, orang Baduy tidak mengenal kewajiban shalat. Jangan pula mencari kamar mandi di sini, tidak akan ada. Untunglah kami tidak perlu berjalan terseok dalam gulita ke sungai untuk mengambil air wudhu. Ada air di tabung-tabung bambu yang diambil dari sungai pada hari sebelumnya. Air itu digunakan untuk bermacam keperluan, seperti memasak, atau dalam kasus kami: berwudhu.

Kami sedang duduk-duduk di teras, memandangi langit dan menyapa warga yang mulai hilir-mudik menuju sungai ketika Kang Sarid menghampiri kami. “Nanti kita siap-siap ke huma Aki ya,” ujarnya. Huma adalah rumah ladang, semacam gubug tempat istirahat kala berladang. Aki adalah panggilan untuk Pu’un (kepala suku) Baduy Dalam. Masih ingat cerita pada bagian sebelumnya tentang minyak dan kemenyan yang kami beli di Ciboleger? Agar bisa masuk ke Baduy Dalam, kami beralasan ingin bersilaturahmi dengan Aki, membawakan minyak dan kemenyan tersebut. Dan inilah saatnya.

Ketika kami sampai di huma, Aki tidak ada. Kang Sarid pergi mencarinya, dan kembali dengan meminta kami menunggu sebentar karena Aki sedang menyadap aren. Tak berapa lama, lelaki berusia sekitar 50 tahun itu tiba membawa sebuah tabung bambu.

“Ini silakan diminum,” tawarnya dalam bahasa Sunda. Kami bertanya itu air apa, dan dijawab: air sadapan aren, di sini biasa disebut tuak. Kami berpandang-pandangan. Tuak? Beralkoholkah? Tapi air itu baru disadap, seharusnya belum terfermentasi. Menggunakan mangkuk bambu, kami mencicip seteguk. Air itu berwarna putih, tidak terlalu pekat, seperti susu kental manis putih yang dicairkan. Rasanya manis sedikit asam. Aroma nira bercampur bambu dari mangkuk menguar.

Selesai minum, kami naik ke atas huma, duduk melingkar mengelilingi Aki. Dewan, yang bisa berbahasa Sunda, sedikit terbata menceritakan maksud kami ingin silaturahmi. Kang Sarid membantu, menjelaskan bahwa kami datang dari jauh, minta didoakan oleh si Aki. Ia menyerahkan minyak dan kemenyan yang kami bawa. Aki mengangguk-angguk mengerti. Ia meraih dupa dan menyalakannya. Kami berpandang-pandangan, lagi. Sebagai laki-laki satu-satunya di rombongan kami, Dewan menjadi ‘korban’ percobaan pertama.

“Namamu siapa?” tanya Aki.
“Arip, Ki,” jawab Dewan, membuatku setengah geli.
Aki mulai berkonsentrasi, membungkus minyak dan kemenyan pada selembar kertas, dan mengasapkannya di atas dupa. Dengan mata terpejam, mulut Aki komat-kamit, mengucap jampi-jampi. Wangi kemenyan menyebar, memenuhi pondokan. Saya memperhatikan raut muka si Aki, mencoba menangkap makna kata-kata yang dijampikannya. Entah diucapkan dalam bahasa apa, yang jelas saya tidak berhasil. Tiba-tiba mata Aki membuka mata, menatap Dewan.

“Sini, tanganmu.” Ia menangkupkan kertas berisi minyak dan kemenyan itu di kedua telapak tangan Dewan, dan kembali mengasapkannya di atas dupa. Bibirnya kembali bergerak-gerak komat-kamit. Tak lama, prosesi itu selesai. Giliran saya dan Hanifah.

Paras Hanifah terlihat pucat. Tapi mengelak nyaris tak mungkin. Aki mengulang ritual yang sama pada kami. Sebelum pergi, Aki mengembalikan minyak dan kemenyan yang telah di-dupa-kan itu pada kami. Berpesan agar mengoleskan minyaknya di tangan kami setiap kali akan pergi keluar, agar selamat dan sukses dalam segala hal. Kepala kami mengangguk-angguk takzim. Meski tentu, kami tak akan melakukannya.

Di sana, kami belajar bagaimana menghormati kepercayaan dan budaya setempat, tanpa harus mengorbankan prinsip-prinsip kami.

Baduy Luar

Dengan perasaan campur-aduk karena sensasi jampi-jampi tadi, kami memulai perjalanan pulang. Berbeda dengan saat berangkat, kali ini kami mengambil rute memutar, melewati perkampungan Baduy Luar. Ada empat desa yang kami lewati: Cipaler, Cikakal, Gajeboh, dan satu lagi saya lupa namanya -,-

Rumah bambu [beneran semuanya dari bambu. kriet..kriet..]


Memasuki desa pertama yang kami jumpai, Cipaler, bunyi ketak-ketik alat tenun memenuhi udara. Hampir di setiap rumah yang kami lewati, di terasnya ada ibu-ibu atau remaja putri yang sedang menenun kain. Kain itu sebagian mereka pakai sendiri, sebagian lagi dijual ke orang Baduy Dalam, sebagian lagi dijual ke pengunjung yang berminat. Kain yang mereka pakai sendiri sudah mulai menggunakan beberapa warna, sementara kain untuk orang Baduy Dalam terbatas pada benang hitam dan putih. Yang membuat saya berdecak, meski hanya  di teras rumahnya, pakaian mereka rapi sekali. Hampir semuanya berkebaya. Kalau saya sih, kalau hanya di teras rumah, paling pakai baju tidur saja, atau paling banter kaos, haha. Dan amboi, perempuan Baduy cantik-cantik sekali. Kulitnya putih bersih, tidak tercemari polusi. Jadi iri xp.

Menenun, pekerjaan sebagian besar ibu-ibu dan remaja putri di desa Cipaler, Baduy Luar
Tiga bocah gembel bersama seorang anak perempuan Baduy yang cantik xp


Karena tidak ada sekolah, anak-anak kecil hanya bermain-main sesuka hatinya. Ada yang berlarian bersama teman-temannya, ada juga yang berguling-guling di samping ibu atau kakaknya yang sedang menenun. Sama seperti di Baduy Dalam, kami tidak menemui para pemuda dan bapak-bapak, semua pergi ke ladang. Hal serupa terjadi di Cikakal, Gajeboh, dan satu desa lain yang saya lupa namanya.

Meski memutar lebih jauh, trek jalan pulang ini sedikit lebih mudah dan lebih indah. Meniti beberapa jembatan gantung dari bambu yang berderak dan bergoyang-goyang ketika tertiup angin, melintasi sungai-sungai berbatu yang airnya jernih dan dingin, melewati rumah-rumah adat dan lumbung-lumbung padi yang keseluruhannya berbahan dasar bambu dan rumbia. Eksotis sekali. Kalau saja kejadian super menyebalkan masalah transportasi yang kami hadapi  kemudian tidak terjadi, tentu perjalanan ini akan menjadi perjalanan yang sangat menyenangkan. Namun, setelah dipikir lagi, mungkin justru kejadian itulah yang membuat perjalanan ini sempurna. Karena dari sana, kami belajar banyak hal. Tentang bayang-bayang mafia pariwisata yang menyelimuti kampung adat ini.

Jembatan gantung dari bambu
Sungai berbatu yang dingin nan jernih

Mafia Pariwisata

Terdengar lebay, eh? Sebenarnya tidak juga, karena saya kesulitan menemukan kata lain yang lebih pas dari ‘mafia pariwisata’ untuk menggambarkan betapa rapinya pola ‘pemerasan’ yang kami alami di sini.

Sedikit kilas balik. Hari sebelumnya, ketika turun dari elf di Terminal Ciboleger, kami langsung disambangi seorang bapak berusia sekitar 40an tahun yang mengaku biasa menunjuki jalan bagi yang mau ke Baduy. Bapak itu mengajak kami duduk istirahat sebentar di sebuah warung, sambil ngeteh atau ngopi-ngopi dulu. Perlahan, bapak bernama Rafe’i itu mencoba menjelaskan beberapa ‘aturan main’ untuk memasuki Baduy Dalam. Antara lain, harus membayar seratus ribu rupiah untuk warga tempat kami numpang menginap, ditambah seratus ribu juga untuk kepala suku, dan tip untuk pemandu ‘seikhlasnya’. Mendengar jumlah itu, wajah kami kontan memucat. Patungan per orang sebenarnya tidak akan terlalu berat, kalau saja rombongan kami lebih banyak. Karena kami hanya bertiga, jumlah yang harus dibayar per orang pun terasa sangat banyak. Terlebih, uang yang kami bawa sangat pas-pasan. Akhirnya, dengan menguras dompet dan hanya menyisakan uang lima belas ribu rupiah masing-masing untuk sampai di Rangkasbitung –dengan asumsi di sana pasti ada ATM- terkumpul uang senilai Rp 220.000,00. Pak Rafe’i melotot. Itu artinya, pemandu hanya akan mendapat bagian dua puluh ribu. Win-win solution-nya, ia meminta seluruh uang itu dan berjanji menguruskan segalanya. Ini juga salah satu poin keanehan. Tapi mau bagaimana lagi? Dengan berat hati, akhirnya kami sepakat.

Pak Rafe’i ternyata hanya ‘calo’. Setelah menerima uang, ia menyerahkan kami pada keponakan jauhnya, Kang Sarid. Kang Sarid inilah yang membawa kami sampai ke Baduy Dalam, juga mengurus kesepatan dengan tuan rumah kami dan kepala suku. Sampai di sini, semua masih baik-baik saja.

Masalah mulai muncul ketika kami sedang melepas penat sejenak di warung kopi dekat Terminal Ciboleger, sebelum melanjutkan perjalanan pulang. Saya dan Hanifah menyempatkan diri mandi di kamar mandi umum yang disediakan, meninggalkan Dewan duduk-duduk di depan. Keluar dari kamar mandi, saya melihat Kang Sarid sedang menjelaskan sesuatu kepada Dewan yang bertampang frustrasi. Selintas, saya mendengar kang Sarid menyebut-nyebut mobil dan nominal dua ratus ribu rupiah. Seketika, saya mengerti apa yang terjadi.

Menurut Kang Sarid, mobil terakhir dari Ciboleger ke Rangkasbitung sudah berangkat setengah jam yang lalu. Padahal, saat itu baru jam setengah 12 lewat. Agak tidak masuk akal, sebenarnya. Tapi posisi kami sebagai tiga bocah gembel yang bukan orang sana memang tidak menguntungkan. Tanpa nego yang terlalu alot, kami mengiyakan tawaran Kang Sarid dan sopir elf untuk mencarter mobil sampai ATM di Rangkasbitung agar kami punya uang untuk bayar. Harga hanya diturunkan menjadi Rp 150.000,00 dengan catatan, sopir bisa menaikkan 2-3 penumpang lain di tengah jalan.

Di tengah jalan, penumpang yang naik ternyata tidak hanya 2-3 orang, melainkan belasan. Belum berapa lama berjalan, Elf yang kami ‘carter’ itu penuh dengan penumpang lain. Seketika kecurigaan memenuhi benak kami. Kalau benar memang biasanya tidak ada mobil yang jalan lagi jam segini, bagaimana mungkin masih ada penumpang sebanyak ini. Kontan kami mendesis, penipuan! Dan kami bertekad tidak akan diam saja.

Sampai di Rangkasbitung, sopir menurunkan kami di depan ATM BRI. Bukannya bergegas mengambil uang, kami justru meminta sopir turun. Dewan mengawali negosiasi ulang dengan bahasa Sunda. Karena gatal tidak sabar, saya menimpali, dalam bahasa Indonesia tentu saja. Intinya, kami bersikeras tidak mau bayar Rp 150.000,00 dan ingin bayar dengan tarif normal, karena ternyata si sopir melanggar perjanjian. Kalau penumpang penuh seperti ini sih, bukan carter mobil hitungannya, tapi penumpang biasa. Sopir berkata, memang biasanya seperti itu. What?! Jadi dia memang sudah biasa melakukan modus penipuan seperti ini?! Situasi semakin memanas. Dewan beringsut mundur mengambil uang. Tinggallah saya berdebat dengan sopir elf, di depan penumpang lain yang menatap ingin tahu. Pada saat penumpang lain sepertinya mulai berpihak pada kami, sopir mengatakan sesuatu pada mereka, dalam bahasa Sunda. Para penumpang itu mengangguk-angguk mendengarkan perkataan sang sopir, dan saya jadi geregetan sendiri. Oh God, saya nggak ngerti dia ngomong apaa!! Di tengah suasana seperti itu, Dewan kembali dari ATM. Sopir yang melihat keadaan mulai tidak menguntungkan dirinya akhirnya mengambil jalan tengah.

“Ya udah, bayar seratus ribu aja!” tukas sang sopir keras. Akhirnya, sambil menggemeretakkan gigi, saya mengambil uang dari tangan Dewan dan menyerahkannya pada si sopir.

“Oke, kami bayar seratus ribu. Tapi perlu diingat, perjanjian awal kami adalah kami carter mobil seratus lima puluh ribu, dan sopir bisa menaikkan 2-3 penumpang lain. 2-3 orang, bukan penuh seperti ini,” desis saya perlahan, penuh tekanan. “Ayo pergi!”

Dan berakhirlah episode adu urat dengan sopir elf di Rangkasbitung.

Kami jadi menyadari betapa rapinya modus mafia pariwisata ini. Ada pembagian kerja yang jelas, dan tentu saja pembagian keuntungan. Ada calo, yang bertugas ‘menarik’ para calon pengunjung. Ada pemandu, yang selain mengantar perjalanan kami, juga ‘menghubungkan’ kami dengan mobil elf yang bisa ‘dicarter’. Ada pemilik rumah tempat kami numpang menginap, yang sepertinya memang sudah biasa menerima para tamu seperti kami. Dan tentu saja ada sopir elf tadi. Apakah aki kepala suku ikut serta dalam konspirasi ini? Kalau itu, kami tidak tahu dan tidak berani menyimpulkan. Nanti kualat, haha -,-

Ah, dasar negeri penuh mafia. Bahkan para mafia itu bisa melihat peluang dalam kebersahajaan dan eksotisme sebuah suku adat.

No comments:

Post a Comment