Wednesday, February 9, 2011

Turun

"Ini nanti turunnya gimana ya?"

Itu yang selalu ada dalam pikiran saya setiap kali naik gunung. Bebatuan terjal, tanah miring licin, akar-akaran yang melintang menjegal. Naik memang melelahkan dan membuat nafas tersengal. Tapi entah kenapa, turun selalu lebih sakit dan mengerikan. Bahkan sekadar membayangkan atau memikirkannya.

Hidup pun, rasanya seperti itu. Naik, menuju target yang lebih tinggi, memang melelahkan.  Banyak rintangannya, mulai dari faktor internal (baca: mental, keragu-raguan), orang-orang di sekitar, lingkungan yang rasanya tidak mendukung (misal: badai), dan berjuta dalih lainnya. Butuh perjuangan, usaha, strategi, visi, kesabaran, ketelatenan, pantang menyerah. Berat.

Tapi, turun dari ‘ketinggian’ ternyata lebih mengerikan. Tidak semelelahkan naik dan tidak membuat terengah-engah seperti naik, sih. Hanya saja, rasanya, lebih sakit. Apalagi kalau turunnya disertai jatuh terjungkal, terpeleset, tersandung, terluka, dan terkilir.

Naik memang berat, tapi turun lebih mengerikan. Sayangnya, dalam hidup yang siklis, naik dan turun adalah niscaya. Yeah, mungkin sebaiknya berharap saja, agar ketika ‘turun’ nanti baik-baik saja.


P.s.:
catatan ringan nan super singkat bin geje ini ditulis sebagai 'jejak' pendakian Sindoro, 5-6 Februari 2011

No comments:

Post a Comment