tag:blogger.com,1999:blog-49203537041421951892024-02-03T03:03:00.288+07:00Ekstase Jalananmengumpulkan mozaik-mozaik kehidupan yang terserak di jalananUnknownnoreply@blogger.comBlogger20125tag:blogger.com,1999:blog-4920353704142195189.post-25948414332991174162012-06-29T13:16:00.000+07:002012-06-29T13:16:14.947+07:00Niat<div class="mbl notesBlogText clearfix">
<div>
Ada dua tipe niat ketika memberikan uang kepada pengamen: sebagai apresiasi, atau agar ia cepat pergi.<br />
<br />
Fragmen #1<br />
Di atas sebuah bus kota,<br />
Pengamen:
Selamat siang Bapak Ibu Mbak Mas Adek sekalian.. jrengg… (dan
mengalirlah lagu Galang Rambu Anarki-nya Iwan Fals yang digubah dengan
keren sekali)<br />
Penumpang: (berbisik-bisik) (membuka dompet) (mengeluarkan lembaran rupiah tanpa ragu)<br />
<br />
Fragmen #2<br />
A dan B sedang makan di sebuah warung kaki lima pinggir jalan,<br />
Pengamen:
Halo maaass, werewerewerewrer (nggak jelas lagu apa yang kemudian
dinyanyikan). Masnya ganteng deehh… (mulai berkeliling sambil sesekali
colek-colek)<br />
A: Punya receh?<br />
B: Nggak, buat apa?<br />
A: Itu (mengedikkan bahu ke arah sang pengamen, tanpa melirik sama sekali). Biar cepet pergi.<br />
B: Hahaha, yaudah sih, nggak usah dikasih.<br />
A: Nggak pergi-pergi dia nanti, serem tau (dengan rona wajah pasi).<br />
<br />
Mengamen, murni menjual daya tarik suara dan permainan alat musik, atau eufimisme dari pekerjaan mengemis?<br />
<br />
<br />
Yogyakarta, 29 Juni 2012<br />
teringat seorang teman yang trauma dicolek-colek ‘pengamen’, hahaha.</div>
</div>Unknownnoreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-4920353704142195189.post-7638089953069017642012-03-19T16:38:00.004+07:002012-03-19T16:55:00.391+07:00[South Celebes] Toraja: Tempat Orang Hidup Berdampingan dengan yang Mati (Part 2)Part 1: <a href="http://ekstasejalanan.blogspot.com/2012/03/south-celebes-toraja-tempat-orang-hidup.html">http://ekstasejalanan.blogspot.com/2012/03/south-celebes-toraja-tempat-orang-hidup.html</a> <br />
<br />
Saya mengerjap ketika Mbak Eva membuka jendela kecil di hadapan papan tempat tidur kami, membuat seberkas cahaya menerobos masuk, menyilaukan. Melirik jam tangan, sudah jam sembilan! Tak lama, Mbak Marla masuk dan meminta kami menuju alang. Kami mengangguk dan bergegas turun.<br />
<br />
Di mata saya yang awam ini, alang terlihat agak mirip tongkonan, hanya saja berukuran lebih kecil dan lebih sederhana. Bagian dalamnya hanya terdiri dari satu bilik tempat menyimpan padi. Dengan model seperti rumah panggung, bilik kecil itu disangga tiang yang tinggi, membuatnya terkesan jangkung. Bagian bawah alang yang terbuka biasanya digunakan untuk menerima tamu. Seperti <i>bale-bale </i> dalam kebudayaan Betawi, mungkin. Ada empat alang berjejer menghadap tongkonan yang tadi kami tempati. Di salah satu alang tersebut, sudah ada sepiring pisang rebus dan gelas-gelas berisi teh dan kopi yang uapnya masih mengepul.<br />
<br />
Sambil menikmati hidangan, kami berbincang santai. Mbak Marla meminta kami sudah siap sekitar pukul setengah 12, karena upacara akan dimulai tepat setelah matahari melewati sumbu tengahnya. Secara umum, upacara di Toraja dibagi menjadi dua jenis, upacara yang berkaitan dengan kelahiran atau syukuran dan upacara yang berkaitan dengan kematian. Upacara syukuran biasanya dilakukan pagi hari, sementara upacara yang berkaitan dengan kematian baru dilakukan setelah matahari tergelincir ke arah barat. Ketentuan itu didasarkan pada filosofi pergerakan matahari dari timur ke barat sebagai representasi kehidupan dan kematian.<br />
<br />
Mbak Marla bercerita bahwa upacara yang akan kami hadiri siang ini adalah upacara mengarak jenazah keliling kampung. Pemakamannya sendiri baru akan dilangsungkan beberapa hari kemudian. Di Toraja, upacara kematian, khususnya bagi orang-orang yang mempunyai kedudukan atau pemuka adat, memang bukan hal yang sederhana. Rangkaian acara puncak upacaranya sendiri bisa sampai seminggu, terdiri dari prosesi arak-arakan, penerimaan tamu, penyembelihan kerbau dan babi, sampai pemakaman. Persiapannya bisa memakan waktu jauh lebih lama lagi. Semakin tinggi kedudukan orang tersebut, semakin meriah upacaranya, semakin banyak dan istimewa kerbau yang harus disembelih nantinya.<br />
<br />
<br />
<b>Arak-arakan</b><br />
<br />
Sedikit kesulitan mendapat angkutan umum, saya dan Mbak Marla terlambat sampai ke lokasi upacara, tongkonan Randan Batu. Arak-arakan jenazah sudah berangkat. Tepat sebelum perasaan kecewa menenggelamkan saya, Mbak Marla menenangkan. Ia berkata bahwa tak lama lagi rombongan arak-arakan akan tiba kembali dan kami bisa mengikuti prosesi berikutnya.<br />
<br />
Sekitar lima belas menit berselang, bunyi tabuhan gong membahana di udara. Tak berapa lama, beberapa laki-laki berpakaian hitam berjalan dalam barisan memanjang ke belakang, masing-masing membawa batangan bambu panjang tipis berbendera yang tampaknya berfungsi seperti panji-panji. Di belakang mereka, sumber suara tabuhan tadi muncul: dua orang laki-laki berpakaian senada memikul gong dengan bantuan sebilah bambu. “Kalau <i>pake</i> gong, tandanya orang yang diupacarakan itu kedudukannya tinggi,” tutur Mbak Marla. Pembawa gong tersebut diikuti lagi oleh orang-orang yang membawa panji-panji.<br />
<br />
Setelah pembawa gong dan panji-panji, berikutnya adalah kerbau besar yang dipilih sebagai simbol dari puluhan kerbau lain yang nantinya akan dikurbankan. Untuk upacara kematian bangsawan tinggi, jumlah kerbau yang dikurbankan minimal 24 ekor. Selain jumlah, jenis kerbau yang diarak juga dapat menunjukkan status sosial si mati. Yang paling istimewa adalah kerbau belang. Jenisnya yang langka membuat harganya melambung tinggi. “Bisa mencapai 200 juta seekor,” ungkap Mbak Marla datar, membuat saya berdecak. Kerbau kurban itu diikuti oleh serombongan laki-laki berpakaian hitam, salah satunya membawa foto orang yang meninggal. Di belakang mereka, berjalan serombongan perempuan berpakaian hitam atau putih.<br />
<br />
Ada jeda beberapa menit sampai akhirnya rombongan utama tiba. Dari kejauhan, sebuah keranda merah beratap serupa tongkonan tampak berkilau tertimpa sinar matahari siang. Keranda itu diusung oleh lebih dari sepuluh laki-laki. Di depan mereka, belasan perempuan berjalan berbanjar menjunjung kain merah panjang. Sorakan ritmis dalam bahasa yang tidak saya pahami dan dentum tumbukan alu bertalu-talu dari lapangan tempat upacara menyambut kedatangan rombongan pengusung keranda tersebut. Berderap pasti, mereka menuju ke tengah lapangan, meletakkan keranda di tanah dengan gerak menyentak. Sorak dan segenap suara serentak berhenti, lalu hening.<br />
<br />
(bersambung)<br />
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="http://a3.sphotos.ak.fbcdn.net/hphotos-ak-ash4/s720x720/383519_2827885976744_1246894242_32141250_1543784723_n.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img alt="" border="0" class="photo_img img" height="240" src="http://a3.sphotos.ak.fbcdn.net/hphotos-ak-ash4/s720x720/383519_2827885976744_1246894242_32141250_1543784723_n.jpg" width="320" /></a></div><span class=""><img alt="" class="photo_img img" height="240" src="http://a6.sphotos.ak.fbcdn.net/hphotos-ak-ash4/s720x720/481735_2827897417030_1246894242_32141255_625468844_n.jpg" width="320" /><span class="caption"></span></span><br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"></div><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="http://a8.sphotos.ak.fbcdn.net/hphotos-ak-snc7/s720x720/306580_2827910377354_1246894242_32141261_1386849275_n.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img alt="" border="0" class="photo_img img" height="320" src="http://a8.sphotos.ak.fbcdn.net/hphotos-ak-snc7/s720x720/306580_2827910377354_1246894242_32141261_1386849275_n.jpg" width="240" /></a><a href="http://a6.sphotos.ak.fbcdn.net/hphotos-ak-ash4/s720x720/486272_2827917177524_1246894242_32141262_2020969368_n.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"></a><a href="http://a2.sphotos.ak.fbcdn.net/hphotos-ak-snc7/s720x720/486507_2827879136573_1246894242_32141248_467657371_n.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img alt="" border="0" class="photo_img img" height="320" src="http://a2.sphotos.ak.fbcdn.net/hphotos-ak-snc7/s720x720/486507_2827879136573_1246894242_32141248_467657371_n.jpg" width="240" /></a><a href="http://a1.sphotos.ak.fbcdn.net/hphotos-ak-snc7/s720x720/488206_2827890576859_775812785_n.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img alt="" border="0" class="photo_img img" height="240" src="http://a1.sphotos.ak.fbcdn.net/hphotos-ak-snc7/s720x720/488206_2827890576859_775812785_n.jpg" width="320" /></a></div><br />
<span class=""><span class="caption"></span></span><br />
<span class=""><span class="caption"></span></span><br />
<span class=""><span class="caption"></span></span><br />
<span class=""><span class="caption"></span></span><br />
<span class=""><span class="caption"></span></span><br />
<span class=""></span>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4920353704142195189.post-41624360090534365232012-03-19T16:37:00.002+07:002012-03-19T16:37:32.146+07:00[South Celebes] Toraja: Tempat Orang Hidup Berdampingan dengan yang Mati (Part 1)Mendengar kata Toraja, apa yang pertama kali terlintas di benak? Legenda mayat berjalan, begitu komentar seorang teman di status saya. Benarkah?<br />
<br />
Dari Terminal Daya, Makassar, perjalanan menuju Toraja dapat ditempuh dengan menggunakan bus selama kurang-lebih delapan jam kalau berangkat malam hari, sedikit lebih lama kalau berangkat pagi hari. Tarif bus bervariasi tergantung fasilitas yang ditawarkan, antara 60.000 - 100.000 rupiah sekali jalan.<br />
<br />
Secara administratif, Toraja terbagi menjadi dua kabupaten, Kabupaten Tana Toraja yang berpusat di Makale dan Kabupaten Toraja Utara dengan ibu kota di Rantepao. Meski begitu, secara adat, Tana Toraja dan Toraja Utara tetaplah merupakan satu kesatuan yang terbagi lagi menjadi 32 wilayah adat dan lebih banyak subwilayah adat. Di masing-masing wilayah adat dan subwilayah adat, ada rumah adat yang disebut tongkonan, tempat pemangku adat dan keluarganya tinggal.<br />
<br />
Seperti yang sudah saya tulis di catatan sebelumnya, meski nekat, perjalanan ini bukan berarti tanpa persiapan. Sebelum berangkat, saya sempat sedikit bertanya-tanya pada seorang dosen yang pernah beberapa kali ke Toraja. Dosen tersebut kemudian menyebut nama Mbak Marla di tongkonan Buntupune, Toraja Utara. Sayangnya, tidak ada nomor telepon untuk dihubungi sebelumnya. Meski begitu, sang dosen meyakinkan saya bahwa tempat Mbak Marla yang juga merupakan alumni arkeologi Universitas Hasanuddin ini pasti tidak sulit ditemukan. Katakan saja pada kondektur bus untuk diturunkan di jalan menuju Ke’te Kesu, pasti mereka tahu. Buntupune memang terletak tidak jauh dari salah satu objek wisata andalan Toraja itu. Maka, ke sanalah saya menuju.<br />
<br />
Menggunakan bus malam, saya tiba di Toraja pukul setengah lima dini hari. Oleh kondektur bus, saya diturunkan di pertigaan patung kerbau. Untuk menuju tongkonan Buntupune, dari sana masih harus berjalan sekitar 500 meter lagi. Bisa juga menggunakan ojek atau becak motor yang memang ngetem di pertigaan tersebut.<br />
<br />
Gonggongan anjing sahut-menyahut menyambut begitu saya menginjakkan kaki memasuki area tongkonan. Menatap sekeliling, saya terperangah. Dalam remang siluet subuh, ada enam bangunan yang tampak serupa di halaman tengah. Di belakangnya, ada bangunan lagi berbentuk memanjang. Pintu mana yang harus saya ketuk? Langkah saya semakin surut ketika seekor anjing berlari mendekat sambil terus menyalak ribut. Menenangkan diri dan berlagak seolah yakin, saya melangkah ke arah bangunan memanjang di belakang dan mulai mengetuk pintu. Sekali ketuk, tidak ada jawaban. Dua kali, tiga kali, empat kali ketuk, sama saja. Anjing itu mulai mengitari saya dan mengendus-endus. Saya mulai ketar-ketir, merutuki kenapa saya tidak menghubungi terlebih dahulu. Tapi, mau menghubungi ke mana memangnya? Nyaris putus asa, pada ketukan kelima, terdengar suara seorang wanita menyahut dari dalam. Tak lama, seraut wajah menyembul membukakan pintu. “Mbak Marla?” tanya saya harap-harap cemas. Wanita itu mengangguk dengan ekspresi bingung. Ah syukurlah, Tuhan memang maha baik!<br />
<br />
Ditemani kepulan uap tipis dari teh panas yang disuguhkan di dinginnya subuh buta itu, saya dan Mbak Marla berkenalan dan berbincang singkat. Menjelaskan kalau saya adalah mahasiswa arkeologi UGM, dapat nama Mbak Marla di tongkonan Buntupune dari seorang dosen, dan blablabla. “Kamu nanti malam tidur di tongkonan ya, nggak papa kan?” Tawaran Mbak Marla itu serta merta membuat saya melonjak girang. Tentu saja! Belum reda euforia saya membayangkan akan tidur di rumah adat yang eksotis itu, Mbak Marla kembali berbicara. “Oh ya, kebetulan sekali, hari ini ada arak-arakan jenazah upacara kematian pemangku adat desa Randan Batu. Nanti ikut keluarga kami saja.” Saya tidak bisa lebih jungkir-balik lagi. Seperti yang dikatakan seorang teman, belum sempurna rasanya pergi ke Toraja kalau belum menyaksikan upacara kematian. Padahal, tidak setiap saat ada ritual tersebut. Keberuntungan ganda! :D<br />
<br />
Selesai menghabiskan penganan yang disuguhkan, Mbak Marla mengantar saya ke tongkonan untuk meletakkan barang bawaan dan beristirahat. Ternyata, enam bangunan yang tadi bagi saya terlihat serupa itu tidak semuanya tongkonan. Ada dua tongkonan berjajar di sebelah timur dan barat, dan empat alang (lumbung padi) yang berukuran lebih kecil di hadapannya. Kami menuju tongkonan yang paling barat. Untuk memasuki bagian utama rumah, kami harus menaiki tangga kayu yang sempit dan curam. Mbak Marla sempat memperingatkan saya untuk menunduk, karena ada palang kayu yang melintang di pertengahan jalan menuju ke atas. Sayangnya terlambat, haha -,-.<br />
<br />
Menjejakkan kaki di bagian utama rumah, aroma kayu yang khas menyergap indera penciuman saya. Gelap. Mbak Marla menyalakan lampu tengah yang cahayanya sudah temaram. Perlahan, mata saya mulai mengenali keadaan. Bagian rumah ini terbagi menjadi tiga bilik. Dari ketiganya, hanya bilik paling belakang yang disekat sempurna, itupun dengan dinding kayu yang tidak rapat susunannya. Dua bilik di depannya hanya dipisahkan oleh perbedaan ketinggian lantai dan beberapa tiang. Ada seseorang yang tampaknya tertidur di bilik paling depan. Selain itu, kosong. Tidak ada kamar mandi, dapur, atapun ruangan pelengkap lain yang biasa ada di rumah modern lainnya.<br />
<br />
Mbak Marla menggiring saya memasuki bilik paling belakang, melewati pintu seadanya setinggi setengah badan saya. Di sana sudah ada seorang perempuan yang tampaknya terbangun mendengar kedatangan kami. Masih setengah tidur, ia memperkenalkan dirinya sebagai Eva, dosen psikologi Universitas 45 yang sedang mengadakan penelitian di Toraja. Mbak Marla memberi isyarat agar saya beristirahat dulu beberapa jenak, sembari mengingatkan bahwa nanti siang kami akan menghadiri upacara kematian. Saya mengangguk dan merebahkan diri di sebelah Mbak Eva. Diiringi gonggongan anjing yang terdengar lirih dan semilir angin dari jendela kecil yang tidak bisa ditutup rapat, saya memejamkan mata. Gelitik penasaran yang sudah hampir meledakkan kepala ini tampaknya masih harus bersabar beberapa saat lagi.<br />
<br />
(bersambung)<br />
<br />
<span class=""><img alt="" class="photo_img img" src="http://a6.sphotos.ak.fbcdn.net/hphotos-ak-snc7/s720x720/428105_2683542888257_1246894242_32080983_695338845_n.jpg" /></span>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4920353704142195189.post-89502820654361463862012-03-19T16:36:00.001+07:002012-03-19T16:36:12.245+07:00[South Celebes] Gerbang menuju Timur“Your local time: 09.44, GMT+8.00. Accept update?”<br />
<br />
Itu tulisan yang muncul begitu saya menyalakan telepon genggam, sesaat setelah meninggalkan landasan pacu pesawat dan menginjakkan kaki memasuki gedung Bandar Udara Internasional Sultan Hasanuddin, Makassar. Berjarak 8 jam garis waktu imajiner dari meridian di Greenwich sana, satu jam lebih cepat dibanding Yogyakarta, Makassar berada dalam zona Waktu Indonesia bagian Tengah (WITA). WITA sisi timur, lebih tepatnya.<br />
<br />
Mengelilingi Nusantara. Melihat negeri ini tanpa jarak. Melebur dalam masyarakat yang sebenarnya, bukan sekadar bersesakan dalam kerumunan raga bergerak di ibukota. Atas nama pemberontakan sunyi terhadap Jawa-sentrisme yang begitu nyata, Indonesia timur begitu menggoda saya. Dan Makassar adalah jalan menuju ke sana.<br />
<br />
Makassar memang dikenal sebagai pintu masuk menuju Indonesia timur. Sejak dulu, ketika orang-orang dari benua seberang tergoda aroma rempah yang menguar dari gugus kepulauan timur Nusantara, Makassar telah menjadi bandar dagang utama. Di masa sekarang, kota ini adalah titik transit yang penting. Semua pesawat dan kapal penumpang dari belahan barat Indonesia harus mendarat dan berlabuh dulu di Makassar, sebelum kemudian melanjutkan perjalanan terus ke timur, seperti ke Ambon atau Sorong. Inilah gerbang yang menghubungkan bagian barat dan timur Indonesia kita.<br />
<br />
Meski begitu, jujur saja, Makassar bukan tempat yang menarik bagi saya untuk tinggal. Kota ini tak ubahnya kota-kota besar lain seperti Jakarta, Surabaya, atau Denpasar. Begitu keluar dari bandara, sengatan hawa panas langsung menyergap. Tiba di jalan raya, lajur kendaraan tampak tak beraturan. Motor, mobil pribadi, pete-pete (angkot), becak, bus besar, semua saling berebut tempat paling depan. Pekik klakson bersahut-sahutan memekakkan telinga, membuat pejalan kaki hanya bisa menggerundel dan menghela nafas lelah. Semrawut. Namun bagaimanapun, kota ini adalah gerbang untuk menuju ke timur. Maka, demi mimpi yang selalu mencari celah kesempatan untuk mewujud nyata, sepertinya suatu hari nanti saya akan menjumpai kota ini kembali, eh?<br />
<br />
<br />
Yogyakarta, 13 Februari 2012<br />
catatan perjalanan Sulawesi Selatan, 29 Januari-2 Februari ‘12Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4920353704142195189.post-67503558589202914232012-03-19T16:34:00.000+07:002012-03-19T16:34:55.168+07:00[South Celebes] Pergi Sendiri?<blockquote>“Dari mana?”<br />
“Dari Jogja.”<br />
“Jogja yang di Jawa itu? Sama siapa ke sini?”<br />
“Sendiri.”<br />
“Hah? Sendiri? Ada keluarga di sini?”<br />
“Nggak ada.”<br />
“Hah? Nggak ada? Sebelumnya udah pernah ke sini?”<br />
“Belum pernah, ini pertama kali.”<br />
“Hah? Baru pertama kali? Bisa sampe sini sendiri? Wah ckckck…”<br />
Hahaha -,-</blockquote><br />
Lima hari berkelana di sisi selatan Celebes, bukan sekali dua kali percakapan serupa di atas terjadi. Sebenarnya, awalnya saya akan pergi berdua dengan seorang teman. Namun karena satu dan lain hal, sekitar dua atau tiga hari sebelum keberangkatan, teman tersebut tiba-tiba tidak bisa ikut pergi. Padahal, perjalanan ini sudah direncanakan jauh-jauh hari, tiket pulang pergi juga sudah dibeli, sayang sekali kalau sampai batal begitu saja. Maka begitulah, saya pun bertekad tetap pergi meski sendiri.<br />
<br />
Menjelang hari keberangkatan, beberapa kali ragu dan khawatir mencoba mengayun bimbang. Kamu ini perempuan lho, beneran mau pergi sendiri? Kamu kan belum pernah ke sana, belum tau medannya seperti apa. Bagaimana kalau nanti ada masalah di sana, di tempat yang kulturnya mungkin tidak sama dengan di Jawa? Mau menginap di mana nanti di sana? Apalagi kamu juga berniat ke Toraja, yang kemungkinan besar sulit mencari makanan halal, mau makan apa di sana nanti? Bagaimana kalau nanti… bagaimana kalau nanti… bagaimana kalau nanti… dan segala macam bagaimana-kalau-nanti lainnya.<br />
<br />
Dipikir-pikir, perjalanan ini memang sepertinya nekat sekali, hahaha. Meski begitu, nekat bukan berarti tanpa persiapan sama sekali. Syukurlah sekarang ada teknologi bernama internet. Berbekal potongan-potongan informasi yang terserak di berbagai laman internet, sedikitnya saya tidak buta sama sekali tentang tempat-tempat yang ingin saya datangi di Sulawesi Selatan. So, life must go on, eh? Berangkat!<br />
<br />
Dan begitulah, meski sendiri, saya tidak pernah menyesal bersikeras tetap pergi. Tersasar di Bandara Sultan Hasanuddin. Terpekur di bus Damri. Membelah jalanan Makassar dengan pete-pete. Mengelilingi benteng-benteng kota yang menjadi saksi bahwa kolonial pernah bercokol di sini. Sekali-kalinya terjebak naik bus eksekutif super mewah dengan fasilitas hotspot. Menjejak Toraja yang eksotis, tempat orang hidup berdampingan dengan yang mati. Menyaksikan rangkaian ritual upacara kematian yang meriah. Bersepeda naik-turun bukit. Memanjat tebing menuju tempat Patane tertua. Merangkak tertatih di antara tengkorak dan belulang yang terserak. Menerobos celah sempit gua-gua prasejarah di Maros. Berlari terengah mengejar jam keberangkatan pesawat. Semuanya.<br />
<br />
Dan begitulah, meski sendiri, saya tidak pernah merasa sepi. Sepanjang lima hari menjajaki belahan bumi Indonesia tengah sisi timur ini, entah berapa banyak teman baru yang saya dapatkan, entah berapa banyak kemudahan yang datang begitu saja. Kita memang tidak pernah benar-benar sendiri :)<br />
<br />
<br />
Yogyakarta, 3 Februari 2012<br />
catatan perjalanan Sulawesi Selatan, 29 Januari - 2 Februari '12<br />
warming up<br />
<br />
<span class="photo_center"><img alt="" class="photo_img img" src="http://photos-b.ak.fbcdn.net/hphotos-ak-snc7/407971_2588163943843_1246894242_32050416_1728033018_a.jpg" /></span>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4920353704142195189.post-91061943950945097252011-11-22T22:35:00.001+07:002011-11-22T22:36:47.675+07:00Mengawali Ramadhan di Ungaran<m:smallfrac m:val="off"> <m:dispdef> <m:lmargin m:val="0"> <m:rmargin m:val="0"> <m:defjc m:val="centerGroup"> <m:wrapindent m:val="1440"> <m:intlim m:val="subSup"> <m:narylim m:val="undOvr"> </m:narylim></m:intlim> </m:wrapindent> </m:defjc></m:rmargin></m:lmargin></m:dispdef></m:smallfrac><br />
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><span style="font-family: "Trebuchet MS","sans-serif";">“Aku mau sahur pertama di puncak gunung,” cetusku begitu saja tanpa dipikir ketika itu. Aku tak pernah menyangka, ide gila yang terlontar ringan dalam satu sesi obrolan geje itu akhirnya terwujud. Benar apa yang dikatakan Andrea Hirata dalam Edensor, ide-ide sinting memang selalu memiliki dua dimensi: dicemooh atau diikuti orang-orang frustrasi.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><span style="font-family: "Trebuchet MS","sans-serif";"> </span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><span style="font-family: "Trebuchet MS","sans-serif";">Bersama empat orang frustrasi yang ‘terhasut’ sugestiku tentang betapa akan keren-sekali-kalau-bisa-sahur-pertama-di-puncak-gunung, kami memilih Gunung Ungaran sebagai tempat untuk melaksanakan ritual tersebut. Pertimbangannya, Gunung Ungaran tidak terlalu tinggi dan medannya tergolong tidak terlalu berat, sehingga <i>yah</i> bisalah kalau nanti kami turun gunung dalam keadaan berpuasa. Rencana kami: sampai di <i>basecamp</i> pendakian menjelang Magrib, shalat Magrib sekaligus menunggu waktu Isya dan menuntaskan shalat Tarawih, sampai puncak sekitar pukul 02.00 dini hari dan sahur di sana, istirahat beberapa jenak, kemudian turun sebelum matahari mulai tinggi dan menyengat terik. Sempurna!</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><span style="font-family: "Trebuchet MS","sans-serif";">Hanya saja, kenyataan memang kadang tidak sesuai harapan. Sampai di <i>basecamp</i>, kami mendapati kenyataan pahit bahwa tidak ada orang dan bangunan itu dikunci. Saat itu kami baru menyadari satu hal penting: sepertinya memang hanya kami yang nekat mendaki gunung di bulan puasa seperti ini. Maka di sanalah kami, terdampar di tanah rumput yang cukup lapang di samping <i>basecamp</i>. Sembari merapatkan jaket menahan deru angin gunung yang dinginnya menusuk ngilu, kami menghamparkan jas hujan sebagai alas dan menanti waktu shalat dengan gigi bergemeletuk. Dengung suara orang mengaji mulai terdengar dari pengeras suara masjid-masjid di bawah. Menatap pijar lampu-lampu kota yang terlihat jauh seperti bintang warna-warni, rasanya manusia jadi kecil sekali. Seorang teman mencoba menyalakan radio. “Siapa tau ada ceramah <i>on air</i>, biar kerasa udah masuk Ramadhan beneran nih,” ujarnya ambil mengutak-atik frekuensi. Dodolnya, alih-alih ceramah, yang tertangkap dari ketinggian <i>basecamp</i> ini ternyata hanya siaran dangdutan, hahahaha.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><span style="font-family: "Trebuchet MS","sans-serif";">Usai Tarawih dan memastikan semuanya oke, kami memulai pendakian. Dua jam perjalanan pertama kami lalui tanpa hambatan berarti. Memasuki paruh kedua, jalur pendakian Ungaran mulai menunjukkan keganasannya. Treknya sempit dan terjal, dipenuhi batu-batu besar dan batang-batang pohon tumbang malang-melintang menghalangi jalan. Ditambah lagi, senter yang kupakai bermasalah sehingga beberapa kali aku harus memanjat bebatuan terjal dalam kegelapan hanya dengan mengandalkan <i>feeling</i>. Demi menyemangati diri sendiri, kami meneriakkan apa yang menjadi tekad kami ke sana, “Ayo nanti kita bikin <i>sandwich</i> buat sahur di puncak!” Kalimat motivasi yang cukup ampuh untuk terus memaksa kami melangkah rupanya, hahaha.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><span style="font-family: "Trebuchet MS","sans-serif";">Mendekati pukul setengah tiga dini hari, kami tiba di puncak. Satu kata untuk puncak Ungaran: D.I.N.G.I.N. Hampir mendekati derajat dingin Gunung Sindoro ketika badai, padahal ketinggiannya jauh lebih rendah. Dengan tangan kebas mati rasa kedinginan, aku bersama dua orang teman cowok susah-payah mendirikan tenda. Setelah tenda siap, kami mulai bersiap memasak. Mataku mengerjap berbinar melihat bahan-bahan makanan yang kami bawa: roti, telur, keju, <i>nugget</i>, margarin, mie instan, <i>jelly</i>, jeruk, meses, sosis, energen, susu, kopi. Menggunakan alat masak seadanya –nesting dan kompor gas mini, kami berhasil membuat satu set menu yang sanggup membuat lidah berdecak dan cacing di perut menari-nari tak sabar. Menu utama: <i>sandwich </i>isi telur+nugget+keju+saos dan mie rebus sosis. <i>Dessert</i>: <i>jelly</i> jeruk tabur meses dan energen+susu+<i>cappuccino</i>.<i> </i>Makan besaar~! :D</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><span style="font-family: "Trebuchet MS","sans-serif";">Ditemani desau angin dan derik hewan malam, kami makan dalam diam. Lidah api yang tadi dinyalakan berbekal sepotong bara menjilat-jilat udara. Gurih telur dan nugget yang digoreng dengan margarin bercampur dengan lapisan keju yang lumer di lidah, nikmat sekali. “Ini <i>sandwich</i> terenak yang pernah kumakan,” lirih seorang teman dengan suara tercekat haru. Kami semua mengangguk sepakat. Segala kenekatan, perjuangan, lelah, frustrasi, keringat, gigil, rasanya terbayar. Ini adalah sahur paling luar biasa sepanjang hidup kami.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><span style="font-family: "Trebuchet MS","sans-serif";">Tak berapa lama, samar-sama timbul-tenggelam terdengar suara serupa adzan Subuh nun dari kejauhan di bawah sana. Bertatapan satu sama lain, kami spontan saling mengucap, “Selamat menunaikan ibadah puasa…”</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><span style="font-family: "Trebuchet MS","sans-serif";"> </span></div><table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhcg0g8pxYgzUtdV-dJzoZSmNrCwKncfaiPwImhJXZoRfaRV_WKhi9O2oQnhmawJz74MgPGagdF3Y0nSumQiOdmbBvMSkVnciJbT2LbXBXVRaWaQnbEowHgVEa3e0xLbRWjpXiLmVEZ2t0K/s1600/menu+sahur.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" height="240" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhcg0g8pxYgzUtdV-dJzoZSmNrCwKncfaiPwImhJXZoRfaRV_WKhi9O2oQnhmawJz74MgPGagdF3Y0nSumQiOdmbBvMSkVnciJbT2LbXBXVRaWaQnbEowHgVEa3e0xLbRWjpXiLmVEZ2t0K/s320/menu+sahur.jpg" width="320" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">menu sahur</td></tr>
</tbody></table><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><span style="font-family: "Trebuchet MS","sans-serif";">P.s.:</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><span style="font-family: "Trebuchet MS","sans-serif";">sebenarnya ini catatan lama yang ditulis awal Ramadhan tahun ini, tetapi karena diikutkan ke suatu lomba dulu, jadi baru sekarang bisa di-publish, hehe.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><br />
</div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4920353704142195189.post-50124809842010026562011-10-16T13:10:00.000+07:002011-10-16T13:10:15.410+07:00[12 Hari Menggeje di Bosnia] Identitas: Indonesia!<div class="mbl notesBlogText clearfix"><div>Terlepas dari ekspresi ngehe saya kalau masih ada orang yang pernah mencecap bangku kuliah tetapi masih bertanya Bosnia itu di mana, tidak bisa dipungkiri, tempat itu memang terbilang jauh dari Indonesia. Bukan hanya jauh secara geografis (berbeda 5 jam zona waktu, sekitar 14 jam penerbangan), tetapi juga jauh secara kultural dan ras, secara identitas.<br />
<br />
Berlokasi di belahan timur benua Eropa, mayoritas orang yang menempati negara pecahan Yugoslavia itu adalah ras kaukasid. Bukan bermaksud rasis, tetapi konstruksi tulang wajah saya yang Mongoloid sekali ini jadi tampak mencolok di sana. Setiap saya lewat, orang-orang di jalan dipastikan tidak bisa tidak menengok. Jangankan sesama pejalan kaki, pengendara mobil pun begitu. Saya sampai khawatir akan terjadi kecelakaan gara-gara pengendara mobil tersebut malah memutar kepalanya ke arah saya dibanding melihat jalan, hahaha. Jadi berasa artis :p<br />
<br />
Bukan hanya menarik perhatian di jalan, saya juga jadi ‘terkenal’ di motel tempat saya menginap. Setiap kali saya berpapasan atau satu <em>lift</em> dengan entah siapapun ―tamu motel selain tim kami maupun petugas motel, orang itu pasti akan menyempatkan waktu beberapa jenak berhenti mengamati saya dan berujar takjub, “Aah.. You must be Salsa from Indonesia!” Dan saya (lagi-lagi) berasa jadi artis, huahahaha.<br />
<br />
Soal kebangsaan, ketika berkenalan pertama kali, tidak ada orang yang langsung menebak bahwa saya orang Indonesia. Mungkin karena Indonesia memang terhitung asing bagi orang-orang di sana. Sebagian besar hanya tahu ada negara bernama Indonesia, tapi tidak tahu negara itu seperti apa, dan ada di belahan bumi mana. Kurang-lebih sama lah seperti kalau menyebut Bosnia di Indonesia. Berkali-kali saya dikira orang Malaysia, bahkan pernah sekali ada yang mengira saya orang India -,-<br />
<br />
Ada beberapa kejadian kocak tetapi menohok terkait masalah ke-Indonesia-an ini. Saat sedang berbincang dengan beberapa orang di tim, tiba-tiba ada seseorang yang nyeletuk, “Oh yeah, have you ever met Thea? She had just traveled to Maluku. Is it far from Indonesia?” Pertanyaan ringan itu mau tak mau membuat saya terhenyak. Eh? Maluku kan bagian dari Indonesia :|<br />
<br />
Kali lain, saya bertemu dengan serombongan pemuda dari London yang mengisi liburan musim panasnya kali ini dengan bersepeda keliling Eropa, dan sekarang sedang sampai di Bosnia. Ketika saya menjawab bahwa saya dari Indonesia, mereka menanggapi dengan sangat bersemangat dan wajah berbinar-binar, “Ah, so you are from Indonesia? I like Gamelan, you know? It sounds great! Can you play it?” Dan saya cuma bisa cengar-cengir geje ―karena pada kenyataannya saya nggak bisa main gamelan. Jadi malu setengah hidup >,<<br />
<br />
Salah satu <em>great moment</em> saya selama 12 hari di Bosnia adalah ketika berkunjung ke Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Sarajevo. Mendengar lagi bahasa ibu saya dalam percakapan setelah berhari-hari berkomunikasi dengan bahasa Inggris dan mendengar <em>geremengan</em> berbagai bahasa asing lainnya membuat saya merasa pulang. Bertemu dengan orang-orang KBRI yang ramah dan menyambut dengan antusias, rasanya seperti mendapat keluarga baru. Berkat mereka, saya bisa kembali ke Indonesia tepat waktu dan tidak tertahan di bandara Sarajevo. Kalau sebelumnya tidak berkunjung ke KBRI, saya tidak bisa membayangkan akan seperti apa panik dan kalutnya saya saat itu. Saya masih ingat betul apa yang dikatakan salah satu staf KBRI ketika menelepon saya di ruang tunggu bandara, “Yang penting kamu sampai Indonesia dengan selamat. Masalah yang di sini, biar KBRI yang ngurus. Santai aja, sesama orang Indonesia kan keluarga.” :’)<br />
<br />
Begitulah. Di negeri asing yang berjarak ribuan kilometer jauhnya ini, saya justru baru menyadari berbagai hal soal ke-Indonesia-an saya :)<br />
<br />
<br />
P.s:<br />
Maafkan saya yang dengan tidak tahu dirinya baru melanjutkan catatan ini setelah lewat berbulan-bulan lamanya *melirik tanggal saya membuat prolognya -,-. Semoga fragmen-fragmen berikutnya soal petualangan geje saya di Bosnia tidak tersendat selama ini lagi, haha.<br />
<em>Special thanks</em> untuk orang-orang di KBRI yang benar-benar banyak membantu saya selama di sana. Terima kasih untuk Mbak Retno, yang menemani saya muter-muter dan mentraktir berbagai macam penganan khas sana, juga memberi saya tumpangan menginap dan memasakkan gulai ayam yang enaaak~ hehe :D<br />
Untuk teman-teman yang akan atau ingin ke luar negeri, sempatkanlah waktu untuk berkunjung ke KBRI di sana. <em>Trust me, it worths</em>!<br />
<br />
Yogyakarta, 15 Oktober 2011 <br />
<br />
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><img alt="" class="photo_img img" height="320" src="http://a2.sphotos.ak.fbcdn.net/hphotos-ak-ash4/s720x720/301130_2069550338827_1246894242_31818357_721394303_n.jpg" style="margin-left: auto; margin-right: auto;" width="240" /></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;"><span class=""><span class="caption">Di sana ada Masjid Istiqlal Indonesia lho~</span></span></td></tr>
</tbody></table><span class=""><span class="caption"></span></span><br />
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><img alt="" class="photo_img img" height="240" src="http://a4.sphotos.ak.fbcdn.net/hphotos-ak-snc7/s720x720/299120_2069557339002_1246894242_31818363_460904707_n.jpg" style="margin-left: auto; margin-right: auto;" width="320" /></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;"><span class=""><span class="caption">Dzamija Istiklal - Indonezanska Dzamija</span></span></td></tr>
</tbody></table><span class=""><span class="caption"></span></span></div></div>Unknownnoreply@blogger.com1Bosnia and Herzegovina43.915886 17.67907600000000942.5558635 15.732749500000009 45.2759085 19.625402500000011tag:blogger.com,1999:blog-4920353704142195189.post-11387924863899618782011-08-08T15:23:00.000+07:002011-08-08T15:23:05.109+07:00[12 Hari Menggeje di Bosnia] Prologue: Going Out of My Comfort ZoneKata Bu Muslimah seperti yang dikenang Andrea Hirata dalam Edensor, “Kalau ingin menjadi manusia yang berubah, jalanilah tiga hal ini: sekolah, banyak-banyak membaca Al-Quran, dan berkelana.”<br />
<br />
Aku sepenuhnya sepakat dengan perkataan itu. Sekolah dan membaca Al-Quran, tentu saja. Seperti yang disebut pula oleh Ikal, karena pada kedua hal tersebut terdapat saripati ilmu. Namun, mengapa berkelana? Menurutku, karena berkelana memaksa manusia meninggalkan zona nyaman mereka.<br />
<br />
12 hari di Bosnia, aku benar-benar keluar dari zona nyamanku. Sebolang-bolangnya aku, itu pertama kalinya aku pergi sejauh itu, sendirian. Bukan ke negara yang biasa didatangi warga negara Indonesia pada umumnya pula. Rasanya seperti memasuki belantara antah-berantah. Menggoda, menggelitik adrenalin gairah akan tantangan, membangkitkan debar dan tegang.<br />
<br />
12 hari di Bosnia, aku merangkak lepas dari lingkaran budaya yang selama ini melingkupiku nyaman. Di sana, aku bertemu orang-orang dengan karakter, kebiasaan, dan pemikiran yang sama sekali berbeda. Melintasi benua dan samudera, segalanya terasa asing dan tak biasa. Mulai dari hal sepele seperti makanan dan toilet, sampai hal-hal yang bersifat prinsip seperti keyakinan dan identitas.<br />
<br />
12 hari di Bosnia, aku tertatih meninggalkan jaring-jaring bahasa yang selama ini dengan nyaman kugunakan. Orang-orang di sana berbicara dengan bahasa yang tidak kupahami, dan aku berbicara dengan bahasa yang tidak mereka pahami. Jangankan bahasa Indonesia, sebagian besar penduduk di sana bahkan tidak bisa bahasa Inggris. Maka bayangkanlah, bagaimana tidak tambah nyasar, ketika aku bertanya di mana ‘<em>railway station or bus station</em>’ dan mereka tidak mengerti apa yang kutanyakan, hahaha.<br />
<br />
12 hari di Bosnia, aku terseok dari kenyamanan menjadi mayoritas. Aku jadi mengerti mengapa ikatan di antara orang-orang dalam golongan yang sedikit bisa menjelma begitu kuat. Berada di posisi minor, seseorang cenderung mencari dan kembali pada akar kekerabatan terdekatnya. Sekadar tahu bahwa masih ada segelintir yang 'sama' di tengah tekanan dominansi yang berbeda, rasanya bertahan dan tegar jadi lebih mudah.<br />
<br />
Ada pepatah, ‘seenak-enaknya hujan emas di negeri orang, masih lebih baik hujan batu di negeri sendiri’. Dulu aku seringkali berpikir: ah, bodoh sekali pepatah itu, untuk apa bertahan dalam hujan batu kalau bisa mendapatkan hujan emas. Sekarang, setelah merasakan seperti apa rasanya hidup sendiri di negeri orang meski hanya sebentar, aku baru bisa memahami mengapa si pembuat pepatah mengatakan seperti itu. 12 hari di luar sana membuatku menyadari, ternyata aku mencintai tanah air ini, mencintai segala hal berharga yang ada di sini.<br />
<br />
<br />
<br />
P.s:<br />
Tulisan ini adalah prolog dari serangkaian catatan berikutnya tentang 12 hari petualangan gejeku di negeri orang, 11-22 Juli lalu. Sedikit merasa bersalah, baru sok-sempat menulis setelah lewat hampir sebulan begini. Semoga ‘niat baik’ untuk merampungkan keseluruhan cerita ini tidak tersendat di tengah jalan, haha.<br />
<br />
<br />
<br />
Yogyakarta, 8 Agustus 2011<br />
14.58 WIB<br />
<br />
<span class="photo_center"><img alt="" class="photo_img img" src="http://photos-b.ak.fbcdn.net/hphotos-ak-snc6/229757_1907422765739_1246894242_31675209_6975846_a.jpg" /></span>Unknownnoreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-4920353704142195189.post-28277758661726496502011-04-23T09:35:00.001+07:002011-04-23T09:41:27.680+07:00Menghargai Proses<div class="mbl notesBlogText clearfix"><div>Kau sudah berjalan sebegitu jauh, menempuh medan sebegitu berat, mati-matian, berpeluh, berjuang, lelah, terjungkal, bangkit lagi, terjatuh, mengaduh, tapi masih tetap bertahan melaju. Lantas, tinggal selangkah lagi sebelum mencapai tujuan, kau harus mundur. Seperti apa rasanya?<br />
<br />
Dulu, kupikir, rasanya pasti akan seperti menelan pil pahit tanpa air. Menyesakkan.<br />
<br />
*****<br />
<br />
“Aku tunggu di sini atau ikut orang-orang yang turun aja.”<br />
Mendengar kalimat terputus-putus pelan itu, aku tercekat. Menengadah, memicingkan mata mencoba menerka puncak. Seratus meter lagi, sayang.<br />
<br />
“Jadi gimana, Mbak’e?”<br />
Aku mengalihkan pandangan ke atas, beberapa teman lain berhenti berselang cukup jauh di depan, menanti. Aku berbalik, menatap kembali wajahnya yang meringis. Menghela nafas, menguatkan hati.<br />
“Naik bareng, turun bareng. Tolong panggil yang lain, kita turun.”<br />
<br />
*****<br />
<br />
Dulu, kupikir, hal seperti itu akan terasa sangat menyakitkan. Tapi hey, ternyata tidak juga.<br />
<br />
Sepanjang perjalanan turun, aku memikirkan banyak hal. Apa ini keputusan yang tepat? Atau seharusnya tadi biarkan saja yang lain naik? Tapi, akan seperti apa pula rasanya meninggalkan yang sakit sementara kami ‘bersenang-senang’ sendiri?<br />
<br />
“Sunset!” Seruan takjub itu seketika membuyarkan solilokui-ku. Menatap langit jingga kemerahan, segenap perbendaharaan kata yang kupunya seolah menguap. Panorama matahari terbenam di balik tebing karang itu benar-benar menakjubkan. Cantik sekali.<br />
<br />
Ah, seketika hatiku terasa lapang. Dengan keindahan seperti ini, dengan perjalanan semenakjubkan ini, se’gila’ ini, –mulai dari ‘diusir’ di basecamp Slamet sampai akhirnya ‘terdampar’ di Sumbing bersama orang-orang geje-, maka nikmat Tuhanmu yang mana lagi yang kau dustakan? Maka ketika kita telah begitu berjuang, apalagi yang perlu disesali?<br />
<br />
Menghargai proses, bukan sekadar terobsesi pada hasil. Sepertinya itu pelajaran paling telak yang kudapat di pendakian kali ini. Sebenarnya, ketika mendaki gunung, apa yang kau cari? Puncaknya kah? Atau keping-keping pengalaman berharga yang terserak di sepanjang perjalanan naik dan turunnya?<br />
<br />
“…bahwa mendaki gunung sesungguhnya bukanlah untuk menaklukkan puncaknya, tetapi untuk menaklukkan diri kita sendiri, agar jangan menyerah oleh hati yang lemah, tekad yang setengah-setengah, dan mimpi yang tak tentu arah.” -5 cm-<br />
<br />
<br />
P.s.:<br />
mengenang momen-momen geje-tapi-menakjubkan dari basecamp Slamet sampai (hampir) puncak Sumbing, 15-18 April 2011 <br />
<br />
<div class="photo photo_center"><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"></div><div style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img class="img" height="150" src="http://photos-a.ak.fbcdn.net/hphotos-ak-snc6/216592_1678412240619_1246894242_31405390_6830552_a.jpg" width="200" /></div><br />
<div class="photo_img"></div></div><br />
<div class="photo photo_center"><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"></div><div style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img class="img" height="150" src="http://photos-e.ak.fbcdn.net/hphotos-ak-snc6/207569_1678410160567_1246894242_31405386_7955858_a.jpg" width="200" /></div><br />
<div class="photo_img"></div></div></div></div>Unknownnoreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-4920353704142195189.post-34488504969211092022011-02-09T20:18:00.001+07:002011-02-09T20:20:20.808+07:00Turun<div class="mbl notesBlogText clearfix"><div>"Ini nanti turunnya gimana ya?"<br />
<br />
Itu yang selalu ada dalam pikiran saya setiap kali naik gunung. Bebatuan terjal, tanah miring licin, akar-akaran yang melintang menjegal. Naik memang melelahkan dan membuat nafas tersengal. Tapi entah kenapa, turun selalu lebih sakit dan mengerikan. Bahkan sekadar membayangkan atau memikirkannya.<br />
<br />
Hidup pun, rasanya seperti itu. Naik, menuju target yang lebih tinggi, memang melelahkan. Banyak rintangannya, mulai dari faktor internal (baca: mental, keragu-raguan), orang-orang di sekitar, lingkungan yang rasanya tidak mendukung (misal: badai), dan berjuta dalih lainnya. Butuh perjuangan, usaha, strategi, visi, kesabaran, ketelatenan, pantang menyerah. Berat.<br />
<br />
Tapi, turun dari ‘ketinggian’ ternyata lebih mengerikan. Tidak semelelahkan naik dan tidak membuat terengah-engah seperti naik, sih. Hanya saja, rasanya, lebih sakit. Apalagi kalau turunnya disertai jatuh terjungkal, terpeleset, tersandung, terluka, dan terkilir.<br />
<br />
Naik memang berat, tapi turun lebih mengerikan. Sayangnya, dalam hidup yang siklis, naik dan turun adalah niscaya. Yeah, mungkin sebaiknya berharap saja, agar ketika ‘turun’ nanti baik-baik saja.<br />
<br />
<br />
P.s.:<br />
catatan ringan nan super singkat bin geje ini ditulis sebagai 'jejak' pendakian Sindoro, 5-6 Februari 2011<br />
<br />
<div class="photo photo_center" style="text-align: center;"><div class="photo_img"><img class="img" src="http://photos-f.ak.fbcdn.net/hphotos-ak-snc6/180909_1567457546821_1246894242_31250590_2215536_a.jpg" /></div></div></div></div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4920353704142195189.post-21123034116700320012011-02-02T12:54:00.002+07:002011-02-09T20:23:52.740+07:00Baduy: Antara Eksotisme Adat dan Mafia PariwisataMenyebut Baduy adalah menyebut salah satu suku adat yang masih tersisa di Indonesia. Menempati perbukitan di ujung barat Pulau Jawa, aturan yang berlaku di antara mereka adalah aturan adat. Cara hidup, pernikahan, mata pencaharian, dan segala aspek kehidupan lainnya. Adat yang tetap dipegang di tengah gempuran modernisasi itulah yang menggelitik perhatian sebagian kalangan. Termasuk saya.<br />
<br />
Dari Jakarta, perjalanan menuju Baduy bisa diawali dengan kereta jurusan Rangkasbitung. Perjalanan dua sampai tiga jam dari Stasiun Tanah Abang itu dikenakan tarif dua ribu untuk kereta ekonomi biasa, dan empat ribu untuk kereta ekonomi AC. Dari Stasiun Rangkasbitung, dilanjutkan dengan angkot merah menuju stasiun Aweh, tiga ribu rupiah. Dari Terminal Aweh ini ada angkutan umum berupa elf tujuan Ciboleger, dengan waktu tempuh sekitar satu setengah jam. Tarif normalnya dua belas ribu rupiah per orang. Perlu diingat, itu tarif normal.<br />
<br />
<b>Bukan perjalanan mudah</b><br />
<br />
Turun di Terminal Ciboleger, perjalanan sesungguhnya menuju Baduy baru akan dimulai. Jarak dari Ciboleger sampai Desa Cibeo, Baduy Dalam sekitar 12 kilometer. Jarak itu harus ditempuh dengan berjalan kaki, karena kendaraan hanya diizinkan sampai Ciboleger. Ciboleger termasuk dalam kawasan Bojongmenteng, belum memasuki wilayah Baduy. Rumah-rumah di sini sudah berdinding bata, bahkan ada Alfamart segala. Tak jauh dari terminal, ada warung kopi besar dengan empat kamar mandi umum gratis. Sebaiknya, tuntaskan segala urusan MCK di sini, karena ini adalah kamar mandi terakhir yang kami jumpai. Di sini, kami diberitahu bahwa saat ini sedang bulan Kawaluh, bulan sucinya orang Baduy. Karena itu, masuk ke sana tidak bisa sembarangan. Kami pun diminta membeli minyak dan kemenyan sebagai bawaan untuk kepala suku sana. Meski sambil mengangkat alis, tak ayal kami menuruti permintaan tersebut. Daripada nggak bisa masuk, udah jauh-jauh sampe sini, masa langsung pulang lagi, begitu pikir kami ketika itu.<br />
<br />
<br />
<div class="photo photo_center"><div class="photo_img" style="text-align: center;"><img class="img" src="http://photos-g.ak.fbcdn.net/hphotos-ak-ash1/hs760.ash1/165191_1558861451924_1246894242_31234417_6300864_a.jpg" /></div><div class="caption" style="text-align: center;">Alfamart di Ciboleger</div></div><br />
<br />
Tujuan pertama kami adalah kantor lurah Kanekes, desa terluar di Baduy Luar, untuk mengisi buku tamu dan membayar biaya administrasi Rp 10.000,00 per rombongan. Memasuki Desa Kanekes, ada <i>site marker</i> berupa gapura dan papan kayu bertuliskan hak ulayat Baduy. Bahwa kami telah memasuki wilayah Baduy, dan dilarang bla bla bla. Yang menarik, ada logo ‘sinyal kuat Indosat’ di gerbang dan papan tersebut. Pesan sponsor, eh? (Padahal Indosat juga nggak dapet sinyal di Baduy Dalam dan sebagian Baduy Luar, haha -,-)<br />
<br />
<br />
<div class="photo photo_center"><div class="photo_img" style="text-align: center;"><img class="img" src="http://photos-g.ak.fbcdn.net/hphotos-ak-ash1/hs776.ash1/166613_1558869212118_1246894242_31234434_6857227_a.jpg" /></div><div class="caption" style="text-align: center;">Site marker kawasan Baduy, papan hak ulayat<br />
</div></div>Medan jalan menuju Baduy sama sekali bukan trek yang mudah. Agar tidak terlalu malam sampai ke Baduy Dalam, kami berangkat melewati jalur hutan, tidak melewati perkampungan Baduy Luar. Sahut-menyahut suara kodok dan alunan desir angin yang mengalir melewati lubang bambu mengiringi langkah kami. Tanjakan dan turunan terjal, bebatuan licin, tanah merah becek, hujan yang angin-anginan, dan beberapa faktor lain (seperti Hanifah yang salah kostum sepatu xp) sedikit-banyak membuat rombongan kami tidak bisa berjalan terlalu cepat. Beberapa kali kami disusul oleh bapak-bapak Baduy yang bertelanjang kaki, berjalan cepat tanpa ragu, tanpa khawatir luka tergores-gores dan terantuk batu. Hebat.<br />
<br />
Karena memang berangkat terlalu sore, malam di jalan pun tidak bisa dielakkan. Maka senter menjadi benda yang sangat berharga. Angin dingin berhembus semilir, membuat bulu kuduk meremang. Menengok ke belakang, yang ada hanyalah kegelapan pekat. Derik jangkrik sesekali terdengar, memecah sunyi, menghadirkan aura alam bebas yang mistis.<br />
<br />
<b>Bermalam di Baduy Dalam</b><br />
<br />
Menempuh sekitar tiga setengah jam perjalanan, akhirnya kami sampai di Desa Cibeo. Setelah mencuci kaki di sungai, Kang Sarid, pemandu kami, langsung menunjukkan jalan ke rumah penduduk tempat kami akan numpang menginap. Dinding dan lantai rumah itu terbuat dari anyaman bambu. Kalau kami berjalan, akan muncul bunyi kriet… kriet… dari lantai bambu yang terinjak. Tiang-tiang penopangnya dari batang bambu, dan atapnya dari rumbia. Khas sekali. Rumah panggung itu hanya memiliki dua ruangan, ruang depan dan ruang belakang tempat dapur. Tanpa kamar khusus. Kami celingak-celinguk mencari tempat ganti baju. Pak Sarminah, tuan rumah kami, akhirnya menggantungkan kain berbahan seperti goni di salah satu sudut ruangan, sebagai tirai untuk tempat ganti baju. Saya jadi teringat kamar pas di toko-toko busana. Ini versi tradisionalnya kali ya --‘<br />
<br />
<a name='more'></a>Sembari menunggu kami ganti baju dan shalat, Bu Sarminah memasakkan beras, mie, dan telur yang kami bawa untuk makan malam. Lapar dan lelah memang luar biasa, membuat menu sederhana itu terasa sangat nikmat. Terlebih, karena di Baduy Dalam tidak ada listrik, apalagi lampu listrik, makan malam itu hanya diterangi sebatang lilin. Romantis xp.<br />
<br />
Selesai makan, kami mengobrol sebentar dengan Kang Sarid dan empunya rumah, Pak dan Bu Sarminah. Nama kedua orang tua itu bukanlah nama asli mereka. Sarminah adalah nama anak mereka yang pertama. Setelah mempunyai anak, nama asli orang Baduy biasanya tidak digunakan lagi. Pasangan ini memiliki lima orang anak, tiga perempuan dan dua laki-laki. Tiga anak tertua sudah menikah, dan dua lagi masih berumur tujuh dan sembilan tahun.<br />
<br />
Kami berbincang tentang banyak hal. Tentang kepercayaan Sunda Wiwitan yang dianut orang Baduy, yang mempercayai bahwa nabi mereka adalah Adam, bukan Muhammad. Tentang bulan dan puasa Kawaluh. Tentang pernikahan, perayaan, dan kesetiaan pada pasangan. Tentang kelahiran dan dukun beranak. Tentang relasi antar-keluarga. Tentang tidak diperbolehkannya anak-anak untuk sekolah formal. Tentang orang-orang ‘tua’ yang memiliki kekuatan kebatinan. Tentang <i>Pu’un</i> (kepala suku) yang memiliki kuasa. Tentang peralatan penunjang hidup yang sangat sederhana. Tanpa sabun, tanpa barang elektronik, tanpa listrik. Tentang beberapa orang yang tidak tahan, dan akhirnya memilih keluar dari perkampungan. Tentang adat, yang merasuk dalam segenap sendi kehidupan mereka.<br />
<br />
Malam semakin larut. Tak berapa lama, kami pun tertidur. Angin malam menyelusup melalui celah-celah lantai anyaman, membuat lidah api lilin yang terpancang di sudut ruangan menari-nari. Selain suara Dewan yang bersin berkali-kali, tidak ada suara lain. Tidak ada deru mesin, tidak ada dering SMS atau telepon yang meneror. Hening. Damai.<br />
<br />
<b>Jampi Kepala Suku</b><br />
<br />
Bangun di pagi buta, jangan berharap mendengar adzan Shubuh. Sebagai penganut kepercayaan Sunda Wiwitan, orang Baduy tidak mengenal kewajiban shalat. Jangan pula mencari kamar mandi di sini, tidak akan ada. Untunglah kami tidak perlu berjalan terseok dalam gulita ke sungai untuk mengambil air wudhu. Ada air di tabung-tabung bambu yang diambil dari sungai pada hari sebelumnya. Air itu digunakan untuk bermacam keperluan, seperti memasak, atau dalam kasus kami: berwudhu.<br />
<br />
Kami sedang duduk-duduk di teras, memandangi langit dan menyapa warga yang mulai hilir-mudik menuju sungai ketika Kang Sarid menghampiri kami. “Nanti kita siap-siap ke <i>huma</i> Aki ya,” ujarnya. <i>Huma</i> adalah rumah ladang, semacam gubug tempat istirahat kala berladang. Aki adalah panggilan untuk Pu’un (kepala suku) Baduy Dalam. Masih ingat cerita pada bagian sebelumnya tentang minyak dan kemenyan yang kami beli di Ciboleger? Agar bisa masuk ke Baduy Dalam, kami beralasan ingin bersilaturahmi dengan Aki, membawakan minyak dan kemenyan tersebut. Dan inilah saatnya.<br />
<br />
Ketika kami sampai di <i>huma</i>, Aki tidak ada. Kang Sarid pergi mencarinya, dan kembali dengan meminta kami menunggu sebentar karena Aki sedang menyadap aren. Tak berapa lama, lelaki berusia sekitar 50 tahun itu tiba membawa sebuah tabung bambu.<br />
<br />
“Ini silakan diminum,” tawarnya dalam bahasa Sunda. Kami bertanya itu air apa, dan dijawab: air sadapan aren, di sini biasa disebut tuak. Kami berpandang-pandangan. Tuak? Beralkoholkah? Tapi air itu baru disadap, seharusnya belum terfermentasi. Menggunakan mangkuk bambu, kami mencicip seteguk. Air itu berwarna putih, tidak terlalu pekat, seperti susu kental manis putih yang dicairkan. Rasanya manis sedikit asam. Aroma nira bercampur bambu dari mangkuk menguar.<br />
<br />
Selesai minum, kami naik ke atas huma, duduk melingkar mengelilingi Aki. Dewan, yang bisa berbahasa Sunda, sedikit terbata menceritakan maksud kami ingin silaturahmi. Kang Sarid membantu, menjelaskan bahwa kami datang dari jauh, minta didoakan oleh si Aki. Ia menyerahkan minyak dan kemenyan yang kami bawa. Aki mengangguk-angguk mengerti. Ia meraih dupa dan menyalakannya. Kami berpandang-pandangan, lagi. Sebagai laki-laki satu-satunya di rombongan kami, Dewan menjadi ‘korban’ percobaan pertama.<br />
<br />
“Namamu siapa?” tanya Aki.<br />
“Arip, Ki,” jawab Dewan, membuatku setengah geli.<br />
Aki mulai berkonsentrasi, membungkus minyak dan kemenyan pada selembar kertas, dan mengasapkannya di atas dupa. Dengan mata terpejam, mulut Aki komat-kamit, mengucap jampi-jampi. Wangi kemenyan menyebar, memenuhi pondokan. Saya memperhatikan raut muka si Aki, mencoba menangkap makna kata-kata yang dijampikannya. Entah diucapkan dalam bahasa apa, yang jelas saya tidak berhasil. Tiba-tiba mata Aki membuka mata, menatap Dewan.<br />
<br />
“Sini, tanganmu.” Ia menangkupkan kertas berisi minyak dan kemenyan itu di kedua telapak tangan Dewan, dan kembali mengasapkannya di atas dupa. Bibirnya kembali bergerak-gerak komat-kamit. Tak lama, prosesi itu selesai. Giliran saya dan Hanifah.<br />
<br />
Paras Hanifah terlihat pucat. Tapi mengelak nyaris tak mungkin. Aki mengulang ritual yang sama pada kami. Sebelum pergi, Aki mengembalikan minyak dan kemenyan yang telah di-dupa-kan itu pada kami. Berpesan agar mengoleskan minyaknya di tangan kami setiap kali akan pergi keluar, agar selamat dan sukses dalam segala hal. Kepala kami mengangguk-angguk takzim. Meski tentu, kami tak akan melakukannya.<br />
<br />
Di sana, kami belajar bagaimana menghormati kepercayaan dan budaya setempat, tanpa harus mengorbankan prinsip-prinsip kami.<br />
<br />
<b>Baduy Luar</b><br />
<br />
Dengan perasaan campur-aduk karena sensasi jampi-jampi tadi, kami memulai perjalanan pulang. Berbeda dengan saat berangkat, kali ini kami mengambil rute memutar, melewati perkampungan Baduy Luar. Ada empat desa yang kami lewati: Cipaler, Cikakal, Gajeboh, dan satu lagi saya lupa namanya -,-<br />
<br />
<div class="photo photo_center"><div class="photo_img"><img class="img" src="http://photos-g.ak.fbcdn.net/hphotos-ak-snc6/hs041.snc6/167193_1558887692580_1246894242_31234512_5665965_a.jpg" /></div><div class="caption">Rumah bambu [beneran semuanya dari bambu. kriet..kriet..]</div></div><br />
<br />
Memasuki desa pertama yang kami jumpai, Cipaler, bunyi ketak-ketik alat tenun memenuhi udara. Hampir di setiap rumah yang kami lewati, di terasnya ada ibu-ibu atau remaja putri yang sedang menenun kain. Kain itu sebagian mereka pakai sendiri, sebagian lagi dijual ke orang Baduy Dalam, sebagian lagi dijual ke pengunjung yang berminat. Kain yang mereka pakai sendiri sudah mulai menggunakan beberapa warna, sementara kain untuk orang Baduy Dalam terbatas pada benang hitam dan putih. Yang membuat saya berdecak, meski hanya di teras rumahnya, pakaian mereka rapi sekali. Hampir semuanya berkebaya. Kalau saya sih, kalau hanya di teras rumah, paling pakai baju tidur saja, atau paling banter kaos, haha. Dan amboi, perempuan Baduy cantik-cantik sekali. Kulitnya putih bersih, tidak tercemari polusi. Jadi iri xp.<br />
<br />
<div class="photo photo_center"><div class="photo_img" style="text-align: center;"><img class="img" src="http://photos-h.ak.fbcdn.net/hphotos-ak-ash1/hs896.ash1/180459_1558879372372_1246894242_31234479_3192204_a.jpg" /></div><div class="caption" style="text-align: center;">Menenun, pekerjaan sebagian besar ibu-ibu dan remaja putri di desa Cipaler, Baduy Luar</div></div><div class="photo photo_center" style="text-align: center;"><div class="photo_img"><img class="img" src="http://photos-c.ak.fbcdn.net/hphotos-ak-ash1/hs782.ash1/167243_1558878092340_1246894242_31234474_681810_a.jpg" /></div><div class="caption">Tiga bocah gembel bersama seorang anak perempuan Baduy yang cantik xp</div></div><br />
<br />
Karena tidak ada sekolah, anak-anak kecil hanya bermain-main sesuka hatinya. Ada yang berlarian bersama teman-temannya, ada juga yang berguling-guling di samping ibu atau kakaknya yang sedang menenun. Sama seperti di Baduy Dalam, kami tidak menemui para pemuda dan bapak-bapak, semua pergi ke ladang. Hal serupa terjadi di Cikakal, Gajeboh, dan satu desa lain yang saya lupa namanya.<br />
<br />
Meski memutar lebih jauh, trek jalan pulang ini sedikit lebih mudah dan lebih indah. Meniti beberapa jembatan gantung dari bambu yang berderak dan bergoyang-goyang ketika tertiup angin, melintasi sungai-sungai berbatu yang airnya jernih dan dingin, melewati rumah-rumah adat dan lumbung-lumbung padi yang keseluruhannya berbahan dasar bambu dan rumbia. Eksotis sekali. Kalau saja kejadian super menyebalkan masalah transportasi yang kami hadapi kemudian tidak terjadi, tentu perjalanan ini akan menjadi perjalanan yang sangat menyenangkan. Namun, setelah dipikir lagi, mungkin justru kejadian itulah yang membuat perjalanan ini sempurna. Karena dari sana, kami belajar banyak hal. Tentang bayang-bayang mafia pariwisata yang menyelimuti kampung adat ini.<br />
<br />
<div class="photo photo_center" style="text-align: center;"><div class="photo_img"><img class="img" src="http://photos-a.ak.fbcdn.net/hphotos-ak-ash1/hs800.ash1/169088_1558889212618_1246894242_31234518_4416719_a.jpg" /></div><div class="caption">Jembatan gantung dari bambu</div></div><div class="photo photo_center"><div class="photo_img" style="text-align: center;"><img class="img" src="http://photos-f.ak.fbcdn.net/hphotos-ak-ash1/hs894.ash1/180223_1558893812733_1246894242_31234529_3148629_a.jpg" /></div><div class="caption" style="text-align: center;">Sungai berbatu yang dingin nan jernih</div><div class="caption"></div></div><br />
<b>Mafia Pariwisata</b><br />
<br />
Terdengar lebay, eh? Sebenarnya tidak juga, karena saya kesulitan menemukan kata lain yang lebih pas dari ‘mafia pariwisata’ untuk menggambarkan betapa rapinya pola ‘pemerasan’ yang kami alami di sini.<br />
<br />
Sedikit kilas balik. Hari sebelumnya, ketika turun dari elf di Terminal Ciboleger, kami langsung disambangi seorang bapak berusia sekitar 40an tahun yang mengaku biasa menunjuki jalan bagi yang mau ke Baduy. Bapak itu mengajak kami duduk istirahat sebentar di sebuah warung, sambil ngeteh atau ngopi-ngopi dulu. Perlahan, bapak bernama Rafe’i itu mencoba menjelaskan beberapa ‘aturan main’ untuk memasuki Baduy Dalam. Antara lain, harus membayar seratus ribu rupiah untuk warga tempat kami numpang menginap, ditambah seratus ribu juga untuk kepala suku, dan tip untuk pemandu ‘seikhlasnya’. Mendengar jumlah itu, wajah kami kontan memucat. Patungan per orang sebenarnya tidak akan terlalu berat, kalau saja rombongan kami lebih banyak. Karena kami hanya bertiga, jumlah yang harus dibayar per orang pun terasa sangat banyak. Terlebih, uang yang kami bawa sangat pas-pasan. Akhirnya, dengan menguras dompet dan hanya menyisakan uang lima belas ribu rupiah masing-masing untuk sampai di Rangkasbitung –dengan asumsi di sana pasti ada ATM- terkumpul uang senilai Rp 220.000,00. Pak Rafe’i melotot. Itu artinya, pemandu hanya akan mendapat bagian dua puluh ribu. <i>Win-win solution</i>-nya, ia meminta seluruh uang itu dan berjanji menguruskan segalanya. Ini juga salah satu poin keanehan. Tapi mau bagaimana lagi? Dengan berat hati, akhirnya kami sepakat.<br />
<br />
Pak Rafe’i ternyata hanya ‘calo’. Setelah menerima uang, ia menyerahkan kami pada keponakan jauhnya, Kang Sarid. Kang Sarid inilah yang membawa kami sampai ke Baduy Dalam, juga mengurus kesepatan dengan tuan rumah kami dan kepala suku. Sampai di sini, semua masih baik-baik saja.<br />
<br />
Masalah mulai muncul ketika kami sedang melepas penat sejenak di warung kopi dekat Terminal Ciboleger, sebelum melanjutkan perjalanan pulang. Saya dan Hanifah menyempatkan diri mandi di kamar mandi umum yang disediakan, meninggalkan Dewan duduk-duduk di depan. Keluar dari kamar mandi, saya melihat Kang Sarid sedang menjelaskan sesuatu kepada Dewan yang bertampang frustrasi. Selintas, saya mendengar kang Sarid menyebut-nyebut mobil dan nominal dua ratus ribu rupiah. Seketika, saya mengerti apa yang terjadi.<br />
<br />
Menurut Kang Sarid, mobil terakhir dari Ciboleger ke Rangkasbitung sudah berangkat setengah jam yang lalu. Padahal, saat itu baru jam setengah 12 lewat. Agak tidak masuk akal, sebenarnya. Tapi posisi kami sebagai tiga bocah gembel yang bukan orang sana memang tidak menguntungkan. Tanpa nego yang terlalu alot, kami mengiyakan tawaran Kang Sarid dan sopir elf untuk mencarter mobil sampai ATM di Rangkasbitung agar kami punya uang untuk bayar. Harga hanya diturunkan menjadi Rp 150.000,00 dengan catatan, sopir bisa menaikkan 2-3 penumpang lain di tengah jalan.<br />
<br />
Di tengah jalan, penumpang yang naik ternyata tidak hanya 2-3 orang, melainkan belasan. Belum berapa lama berjalan, Elf yang kami ‘carter’ itu penuh dengan penumpang lain. Seketika kecurigaan memenuhi benak kami. Kalau benar memang biasanya tidak ada mobil yang jalan lagi jam segini, bagaimana mungkin masih ada penumpang sebanyak ini. Kontan kami mendesis, penipuan! Dan kami bertekad tidak akan diam saja.<br />
<br />
Sampai di Rangkasbitung, sopir menurunkan kami di depan ATM BRI. Bukannya bergegas mengambil uang, kami justru meminta sopir turun. Dewan mengawali negosiasi ulang dengan bahasa Sunda. Karena gatal tidak sabar, saya menimpali, dalam bahasa Indonesia tentu saja. Intinya, kami bersikeras tidak mau bayar Rp 150.000,00 dan ingin bayar dengan tarif normal, karena ternyata si sopir melanggar perjanjian. Kalau penumpang penuh seperti ini sih, bukan carter mobil hitungannya, tapi penumpang biasa. Sopir berkata, memang biasanya seperti itu. What?! Jadi dia memang sudah biasa melakukan modus penipuan seperti ini?! Situasi semakin memanas. Dewan beringsut mundur mengambil uang. Tinggallah saya berdebat dengan sopir elf, di depan penumpang lain yang menatap ingin tahu. Pada saat penumpang lain sepertinya mulai berpihak pada kami, sopir mengatakan sesuatu pada mereka, dalam bahasa Sunda. Para penumpang itu mengangguk-angguk mendengarkan perkataan sang sopir, dan saya jadi geregetan sendiri. Oh God, saya nggak ngerti dia ngomong apaa!! Di tengah suasana seperti itu, Dewan kembali dari ATM. Sopir yang melihat keadaan mulai tidak menguntungkan dirinya akhirnya mengambil jalan tengah.<br />
<br />
“Ya udah, bayar seratus ribu aja!” tukas sang sopir keras. Akhirnya, sambil menggemeretakkan gigi, saya mengambil uang dari tangan Dewan dan menyerahkannya pada si sopir.<br />
<br />
“Oke, kami bayar seratus ribu. Tapi perlu diingat, perjanjian awal kami adalah kami carter mobil seratus lima puluh ribu, dan sopir bisa menaikkan 2-3 penumpang lain. 2-3 orang, bukan penuh seperti ini,” desis saya perlahan, penuh tekanan. “Ayo pergi!”<br />
<br />
Dan berakhirlah episode adu urat dengan sopir elf di Rangkasbitung.<br />
<br />
Kami jadi menyadari betapa rapinya modus mafia pariwisata ini. Ada pembagian kerja yang jelas, dan tentu saja pembagian keuntungan. Ada calo, yang bertugas ‘menarik’ para calon pengunjung. Ada pemandu, yang selain mengantar perjalanan kami, juga ‘menghubungkan’ kami dengan mobil elf yang bisa ‘dicarter’. Ada pemilik rumah tempat kami numpang menginap, yang sepertinya memang sudah biasa menerima para tamu seperti kami. Dan tentu saja ada sopir elf tadi. Apakah aki kepala suku ikut serta dalam konspirasi ini? Kalau itu, kami tidak tahu dan tidak berani menyimpulkan. Nanti kualat, haha -,-<br />
<br />
Ah, dasar negeri penuh mafia. Bahkan para mafia itu bisa melihat peluang dalam kebersahajaan dan eksotisme sebuah suku adat.Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4920353704142195189.post-47052392768732818152011-01-29T10:13:00.000+07:002011-01-29T10:13:26.994+07:00Gopek<!--[if gte mso 9]><xml> <o:OfficeDocumentSettings> <o:RelyOnVML/> <o:AllowPNG/> </o:OfficeDocumentSettings> </xml><![endif]--><!--[if gte mso 9]><xml> <w:WordDocument> <w:View>Normal</w:View> <w:Zoom>0</w:Zoom> <w:TrackMoves/> <w:TrackFormatting/> <w:PunctuationKerning/> <w:ValidateAgainstSchemas/> <w:SaveIfXMLInvalid>false</w:SaveIfXMLInvalid> <w:IgnoreMixedContent>false</w:IgnoreMixedContent> <w:AlwaysShowPlaceholderText>false</w:AlwaysShowPlaceholderText> <w:DoNotPromoteQF/> <w:LidThemeOther>EN-US</w:LidThemeOther> <w:LidThemeAsian>X-NONE</w:LidThemeAsian> <w:LidThemeComplexScript>X-NONE</w:LidThemeComplexScript> <w:Compatibility> <w:BreakWrappedTables/> <w:SnapToGridInCell/> <w:WrapTextWithPunct/> <w:UseAsianBreakRules/> <w:DontGrowAutofit/> <w:SplitPgBreakAndParaMark/> <w:DontVertAlignCellWithSp/> <w:DontBreakConstrainedForcedTables/> <w:DontVertAlignInTxbx/> <w:Word11KerningPairs/> <w:CachedColBalance/> </w:Compatibility> <m:mathPr> <m:mathFont m:val="Cambria Math"/> <m:brkBin m:val="before"/> <m:brkBinSub m:val="--> <m:smallfrac m:val="off"> <m:dispdef> <m:lmargin m:val="0"> <m:rmargin m:val="0"> <m:defjc m:val="centerGroup"> <m:wrapindent m:val="1440"> <m:intlim m:val="subSup"> <m:narylim m:val="undOvr"> </m:narylim></m:intlim> </m:wrapindent><!--[endif]--><!--[if gte mso 9]><xml> <w:LatentStyles DefLockedState="false" DefUnhideWhenUsed="true"
DefSemiHidden="true" DefQFormat="false" DefPriority="99"
LatentStyleCount="267"> <w:LsdException Locked="false" Priority="0" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Normal"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="9" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="heading 1"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 2"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 3"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 4"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 5"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 6"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 7"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 8"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 9"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 1"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 2"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 3"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 4"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 5"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 6"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 7"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 8"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 9"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="35" QFormat="true" Name="caption"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="10" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Title"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="1" Name="Default Paragraph Font"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="11" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Subtitle"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="22" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Strong"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="20" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Emphasis"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="59" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Table Grid"/> <w:LsdException Locked="false" UnhideWhenUsed="false" Name="Placeholder Text"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="1" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="No Spacing"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 1"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 1"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 1"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 1"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 1"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 1"/> <w:LsdException Locked="false" UnhideWhenUsed="false" Name="Revision"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="34" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="List Paragraph"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="29" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Quote"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="30" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Intense Quote"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 1"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 1"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 1"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 1"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 1"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 1"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 1"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 1"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 2"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 2"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 2"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 2"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 2"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 2"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 2"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 2"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 2"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 2"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 2"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 2"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 2"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 2"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 3"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 3"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 3"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 3"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 3"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 3"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 3"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 3"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 3"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 3"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 3"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 3"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 3"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 3"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 4"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 4"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 4"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 4"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 4"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 4"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 4"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 4"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 4"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 4"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 4"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 4"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 4"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 4"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 5"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 5"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 5"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 5"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 5"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 5"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 5"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 5"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 5"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 5"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 5"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 5"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 5"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 5"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 6"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 6"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 6"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 6"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 6"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 6"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 6"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 6"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 6"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 6"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 6"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 6"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 6"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 6"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="19" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Subtle Emphasis"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="21" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Intense Emphasis"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="31" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Subtle Reference"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="32" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Intense Reference"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="33" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Book Title"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="37" Name="Bibliography"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="39" QFormat="true" Name="TOC Heading"/> </w:LatentStyles> </xml><![endif]--><!--[if gte mso 10]> <style>
/* Style Definitions */
table.MsoNormalTable
{mso-style-name:"Table Normal";
mso-tstyle-rowband-size:0;
mso-tstyle-colband-size:0;
mso-style-noshow:yes;
mso-style-priority:99;
mso-style-qformat:yes;
mso-style-parent:"";
mso-padding-alt:0in 5.4pt 0in 5.4pt;
mso-para-margin:0in;
mso-para-margin-bottom:.0001pt;
line-height:150%;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:11.0pt;
font-family:"Calibri","sans-serif";
mso-ascii-font-family:Calibri;
mso-ascii-theme-font:minor-latin;
mso-fareast-font-family:"Times New Roman";
mso-fareast-theme-font:minor-fareast;
mso-hansi-font-family:Calibri;
mso-hansi-theme-font:minor-latin;}
</style> <![endif]--> </m:defjc></m:rmargin></m:lmargin></m:dispdef></m:smallfrac><br />
<div class="MsoNormal">Gopek. Rp 500,00. Lima ratus perak. Apa artinya sekeping logam itu?</div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal">Di Jogja, lima ratus rupiah berarti sepotong tempe, atau ditambah lima ratus lagi bisa dapet es teh. Di Jakarta, sekeping gopek itu bisa berarti keributan antara sopir angkot dan penumpangnya, dan sisa perjalanan yang menegangkan karena sang sopir ugal-ugalan sambil ngedumel panjang-lebar.</div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal"><b>Tokoh-tokoh</b></div><div class="MsoNormal">Penumpang, selanjutnya disebut P. Seorang ibu-ibu berusia sekitar 40 tahun, dengan seragam coklat lumpur khas pegawai pemerintahan. Badge di bajunya bertuliskan kejaksaan.</div><div class="MsoNormal">Sopir angkot, selanjutnya disebut S. Abang-abang berusia sekitar 30 tahun, dengan seragam khas sopir angkot Jakarta: kaos belel dan handuk kecil yang disampirkan di pundak.</div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal">P mengetuk kap mobil. S tidak mendengar, terus membawa angkotnya lari. P mengetuk lebih keras, tak sabar. “Woi, bang, kiri bang!” Mobil berdecit keras, miring ke kiri.</div><div class="MsoNormal">P turun, menghampiri jendela penumpang di samping sopir. Mengulurkan selembar lima ribu rupiah. S menyerahkan selembar dua ribuan sebagai kembalian. P membelalak.</div><div class="MsoNormal">“Kurang bang!” sentak P.</div><div class="MsoNormal">“Ibu dari Halim kan? Tiga ribu Bu,” sahut S masih berusaha menekan emosi.</div><div class="MsoNormal">“Anda jangan tidak jujur ya! Mana ada dari Halim sampai sini tiga ribu?! Kurang gopek lagi!”</div><div class="MsoNormal">Penumpang lain mulai celingak-celinguk gelisah. S yang melihat gelagat tidak baik cepat-cepat mengorek-ngorek kaleng uang recehnya, menyerahkan sekeping gopek-an setengah hati.</div><div class="MsoNormal">“Dasar, baru jadi sopir angkot aja udah nggak jujur!” desis P sambil berjalan pergi.</div><div class="MsoNormal">“Dasar ibu-ibu bawel! Mentang-mentang PNS! Emang dikira kejaksaan jujur?!” cerocos S sambil mulai menyentak mobilnya. “Pantes aje die kagak mau naik 26. Kalo 26, dari Halim empat ribu tuh. Hah! Untung 19 masih baik! Untung gue masih baik!”</div><div class="MsoNormal">Dan kami, para penumpang yang lain ini hanya bisa mengelus dada dan memekik kecil ketika angkot yang kami tumpangi semakin ugal-ugalan, seiring dengan mood S yang makin bersemangat menggerutu dan merutuk.</div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal">“…Hah, pemerintah juga sama aje. Enak bener gaji udah puluhan juta mau dinaikin lagi. Gimana nasib gue yang harus kejer setoran ini? Tarif naik, penumpang marah-marah. Tarif nggak naik, gue yang rugi. Apes… apes…”</div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjqU9HQ3SjfVVcA1hf8FMl5ZIJy8fpldn7QdfRdauppWQTjTcssSyP6_y1IZX1y80N9JwHRI_O-NUMdmtI1kVHl-GzNspMfkuhL1-qwN0RX2-vqYr3yVQbjTNAehvQc6IFky_taGa6RiSpn/s1600/koin.gif" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjqU9HQ3SjfVVcA1hf8FMl5ZIJy8fpldn7QdfRdauppWQTjTcssSyP6_y1IZX1y80N9JwHRI_O-NUMdmtI1kVHl-GzNspMfkuhL1-qwN0RX2-vqYr3yVQbjTNAehvQc6IFky_taGa6RiSpn/s1600/koin.gif" /></a></div><div class="MsoNormal"><br />
</div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4920353704142195189.post-82241487302268768362010-09-08T09:28:00.001+07:002010-09-08T09:33:01.577+07:00[Gombong-Kebumen] Mozaik 2: Benteng yang Kehilangan Nuansanya<i>Benteng Van Der Wijck adalah benteng pertahanan Belanda yang dibangun pada abad ke 19. Nama benteng ini diambil dari Van Der Wijck, yang kemudian nama komanda pada saat itu. Nama benteng ini terpampang pada pintu sebelah kanan. Benteng ini kadang juga dihubungkan dengan nama Frans David Cochius, seorang jenderal yang bertugas di daerah barat Bagelen, sehingga benteng ini sering juga disebut Benteng Cochius.</i><br />
<br />
<div style="text-align: left;">Aku membaca baris-baris itu dengan tak sabar. Uraian singkat dari Wikipedia itu sama sekali tak menjelaskan apa-apa, apalagi menjawab rasa penasaran. Tenanglah. Sebentar lagi aku akan melihatnya sendiri. Sebentar lagi...</div><br />
++++++++++++++++++++++++++++++<br />
<br />
Berjalan kaki sekitar satu kilometer dari tempat turun bus, jalan utama jalur selatan Yogya Purwokerto atau Yogya-Cilacap, kami sampai di gapura ’Selamat Datang di Taman Wisata Benteng Van Der Wijck’. Taman wisata?<br />
<br />
<div class="photo photo_center"><div class="photo_img"><table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="http://www.facebook.com/photo.php?pid=30923782&fbid=1390864532106&op=1&view=all&subj=442067904864&aid=-1&auser=0&oid=442067904864&id=1246894242" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img class="img" src="http://photos-h.ak.fbcdn.net/hphotos-ak-snc4/hs414.snc4/47750_1390864532106_1246894242_30923782_3248911_a.jpg" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Tampak depan</td></tr>
</tbody></table></div><div class="caption"> </div></div><br />
<a name='more'></a>Melewati gapura tersebut ke arah gerbang barat benteng, keherananku tentang penggunaan terminologi ’taman wisata’ di gapura terjawab. Oleh pengelolanya, tempat ini benar-benar disulap layaknya taman wisata. Ada kereta keliling, replika tokoh-tokoh kartun, kolam renang, sepeda air, bahkan kereta mini di atas benteng! Heeeeh =,=<br />
<br />
<div class="photo photo_center"><div class="photo_img"><table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="http://www.facebook.com/photo.php?pid=30923779&fbid=1390862652059&op=1&view=all&subj=442067904864&aid=-1&auser=0&oid=442067904864&id=1246894242" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img class="img" src="http://photos-a.ak.fbcdn.net/hphotos-ak-snc4/hs611.snc4/59175_1390862652059_1246894242_30923779_198738_a.jpg" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Replika tokoh kartun di halaman luar => taman wisata?</td></tr>
</tbody></table></div></div><br />
Dominasi warna merah-oranye membuat benteng ini tampak mencolok dibanding sekitarnya. Warna merah-oranye tersebut sekarang berasal dari cat, entah apakah dulu memang warnanya seperti itu atau bagaimana. Benteng berbahan dasar bata ini berbentuk segi delapan dengan bagian tengah berupa lapangan yang cukup luas. Dengan tinggi sekitar sepuluh meter, benteng ini terdiri dari dua lantai, -belum termasuk pos pengintaian dan cerobong asap yang sejajar dengan atap.<br />
<br />
<div class="photo photo_center"><div class="photo_img"><table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="http://www.facebook.com/photo.php?pid=30923819&fbid=1390878692460&op=1&view=all&subj=442067904864&aid=-1&auser=0&oid=442067904864&id=1246894242" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img class="img" src="http://photos-d.ak.fbcdn.net/hphotos-ak-snc4/hs425.snc4/46773_1390878692460_1246894242_30923819_5295956_a.jpg" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Bagian tengah dalam benteng</td></tr>
</tbody></table></div><div class="caption"><br />
</div></div>Masuk ke bagian dalam, lorong-lorong lengkung menyambut. Bayangan tentang benteng peninggalan Belanda yang muram dan angkuh lenyap seketika ketika melihat satu set pelaminan di salah satu ruangan di lantai satu. Papan plang di depannya bertuliskan: studio foto. Tempat ini sering digunakan untuk lokasi foto <i>pre-wedding</i> rupanya. Hadeh!<br />
<br />
<div class="photo photo_center"><div class="photo_img"><table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="http://www.facebook.com/photo.php?pid=30923794&fbid=1390868732211&op=1&view=all&subj=442067904864&aid=-1&auser=0&oid=442067904864&id=1246894242" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img class="img" src="http://photos-d.ak.fbcdn.net/hphotos-ak-snc4/hs408.snc4/47149_1390868732211_1246894242_30923794_1873383_a.jpg" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Set pelaminan di dalam benteng</td></tr>
</tbody></table></div><div class="caption"><br />
</div></div>Naik ke lantai dua, melewati tangga putar yang cukup gelap. Foto-foto hitam-putih dari masa lalu berjejer, kebanyakan merupakan foto-foto militer, dipajang dalam barak-barak yang dulu merupakan asrama para perwira. Semakin jauh dari gerbang masuk, aura suram baru mulai terasa. Ruang-ruang kosong yang dingin, lantai dan tembok yang retak dan berlumut, kait-kait di tembok dan atap, dan gaung yang timbul karena ketukan langkah kami.<br />
<br />
<div class="photo photo_center"><div class="photo_img"><table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="http://www.facebook.com/photo.php?pid=30923823&fbid=1390879612483&op=1&view=all&subj=442067904864&aid=-1&auser=0&oid=442067904864&id=1246894242" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img class="img" src="http://photos-g.ak.fbcdn.net/hphotos-ak-snc4/hs405.snc4/46831_1390879612483_1246894242_30923823_8330661_a.jpg" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Lantai 2, tempat pemajangan foto-foto militer</td></tr>
</tbody></table></div><div class="caption"><br />
</div></div>Di empat dari delapan sudut bangunan, ada tangga lagi dari lantai dua untuk naik ke puncak benteng. Dari empat tangga tersebut, hanya satu yang kini dibuka dan bisa dilewati. Tangga itu dibuka untuk lewat pengunjung yang ingin menaiki wahana kereta mini mengelilingi atas benteng (aku masih rada gimanaaa gitu dengan kereta mini ini -,-). Sama seperti temboknya, atap benteng ini tersusun dari bata yang tidak akan terlihat dari bawah. Ada bagian datar di puncaknya -yang sekarang menjadi jalur kereta mini. Sepertinya puncak datar itu dulu merupakan jalur pengamanan dan pengintaian para penjaga benteng.<br />
<br />
Dasar bangsa yang kreatif, benteng peninggalan kolonial satu ini pun tidak lepas dari coretan-coretan vandalisme. Ada vandalisme klasik macam ’tony ♥ desy’, ada pula yang mungkin terlalu menghayati nuansa horor benteng ini, dan menulis cerita hantu -nggak mutu- di temboknya. Err, kreatif, atau merusak?<br />
<br />
<div class="photo photo_center"><div class="photo_img"><table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="http://www.facebook.com/photo.php?pid=30927890&fbid=1392824861113&op=1&view=all&subj=442067904864&aid=-1&auser=0&oid=442067904864&id=1246894242" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img class="img" src="http://photos-a.ak.fbcdn.net/hphotos-ak-snc4/hs404.snc4/46741_1392824861113_1246894242_30927890_4651035_a.jpg" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Vandalisme 'klasik'</td></tr>
</tbody></table></div><div class="caption"><br />
</div></div>++++++++++++++++++++++++++++++<br />
<br />
Puas menjelajahi benteng, kami beranjak ke lapangan di tengah dalam benteng. Berbaring begitu saja, menatap langit, menikmati semilir angin, menikmati hening benteng yang seolah menjadi milik kami sendiri -saking hampir tidak ada pengunjung-, aku merenungkan banyak hal. Berpikir tentang pengelolaan benteng warisan budaya ini. Tentang terminologi ’taman wisata’ yang digunakan dan berbagai penambahan yang seolah menghilangkan ’aura-benteng’nya -dan membuatku seolah berasa di Dufan saja. Tentang revitalisasi yang dilakukan. Tentang vandalisme kurang ajar itu. Tentang sepinya pengunjung. Tentang bangsa ini, yang seolah lupa pada sejarahnya sendiri.<br />
<br />
+++++++++++++++++++++++++++++<br />
<br />
Prev:<br />
<a href="http://ekstasejalanan.blogspot.com/2010/09/gombong-kebumen-mozaik-1-perjalanan.html">[Gombong-Kebumen] Mozaik 1: Perjalanan</a>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4920353704142195189.post-1770082237860800592010-09-08T09:19:00.001+07:002010-09-08T09:33:32.840+07:00[Gombong-Kebumen] Mozaik 1: PerjalananJumat sore<br />
“Kebumen lumayan jauh. Sekitar 3-4 jam perjalanan. Besok ketemu di Bunderan Filsafat jam 8 ya.”<br />
<br />
Sabtu, 07.33<br />
”Hah! Astagfirullah! Udah jam segini!” -baru bangun-<br />
Tuiit tuiit *bunyi SMS masuk*<br />
”Bil, aku kesiangan. Ketemu jam 8.45 aja ya.”<br />
<br />
Sabtu, 09.05<br />
Bunderan Filsafat. Kosong. Tak terlihat batang hidung dua orang itu.<br />
Tuuut tuuut<br />
”Yu, di mana?”<br />
”Di jalan, Bil! Bentar! Bentar! Aku kesiangan!”<br />
Tuiit tuiit *bunyi SMS masuk*<br />
”Aku otw.”<br />
<br />
Sabtu, 09.15<br />
”Motorku taro mana nih?”<br />
“Taro FIB aja. Atau taro Maskam.”<br />
“Aman po? Taro kos Andri aja deh.”<br />
“Ke sananya gimana?”<br />
“Udah, cenglu aja! Cenglu!”<br />
<br />
Sabtu, 09.40<br />
”Eh, ayo cepetan! Itu jalur 15!”<br />
“Naik naik naik!”<br />
<br />
Maka, begitulah. Perjalanan ke Gombong hari itu diawali dengan kesiangan. 3 dari 3 avonturir itu kesiangan. Rencana jam 8, hampir jam 10 baru berangkat. Indonesia, Indonesia.<br />
<br />
++++++++++++++++++++++++++++++<br />
<br />
Sabtu, 13.35<br />
Bus melaju, melewati gapura bertuliskan ’Gombong’.<br />
”Yu, siap-siap. Bangunin Mbadea. Udah mau nyampe.”<br />
“Mbadea, bangun, udah mau nyampe.”<br />
“Hmmmmhhh….” -tetep tidur-<br />
<br />
5 menit kemudian<br />
“Gombong Gombong! Yang turun benteng benteng!” Suara kenek itu menghentak.<br />
”Ayo Yu, Mbadea, turun.”<br />
Aku meloncat, disusul Ayu. Tidak disusul Mbadea. Bus berjalan lagi.<br />
“Hah! Yu! Mbadea mana?”<br />
”Wah, katanya tadi aku disuruh duluan.”<br />
”Mbadea ketinggalan di bus!”<br />
”Hah! Oh iya! Pak, Pak, berhenti Pak! Ada yang belom turun!”<br />
Kenek bus menatap kami tanpa ekspresi. Bus tetap bergerak menjauh.<br />
”Mbadea kebawa bus! Hahahahahahahaha.”<br />
“Hahahahahahahahahahahaha.”<br />
<br />
Dan kami sukses terpingkal-pingkal sampai terbungkuk-bungkuk sakit perut. Jahat bener ya xp.<br />
<br />
++++++++++++++++++++++++++++++<br />
<br />
Sabtu, 17.00<br />
”Tanyain Mbak, ongkos dari benteng sampe pertigaan Wonoyoso berapa.”<br />
”Dua ribu katanya.”<br />
<br />
Sabtu, menjelang Maghrib<br />
Kenek mikrobus itu mengangsurkan selembar seribu rupiah sebagai ganti uang sepuluh ribu yang kami berikan. Kami melongo. Tiga ribu seorang? Katanya Ais bukannya dua ribu?<br />
<br />
Minggu pagi<br />
”Kurang dua ribu Mbak,” kata kenek itu melihat selembar sepuluh ribu yang aku sodorkan.<br />
”Ah, kemaren saya naik ini juga bayarnya tiga ribu Pak seorang.”<br />
”Ya itu kan kemaren. Hari ini empat ribu.”<br />
<br />
Et dah. Untuk jarak yang sama, beda hari beda tarif ya??!<br />
<br />
++++++++++++++++++++++++++++++<br />
<br />
Minggu, 17. 03, di atas bus jalur 15<br />
”Mbak, turun mana?”<br />
”Kampus UGM Pak.”<br />
”Cuma sampe Mirota ya Mbak.”<br />
”Hah? Ga lewat lembah Pak? Kehutanan?”<br />
”Kita mesti ngambil makanan buat buka puasa bersama anak TK nih, Mbak. Nggak keburu nanti. Nuwun sewu nggih.”<br />
<br />
Bah! Buka puasa bersama anak TK itu membuatku terancam ketinggalan kereta pulang! Belum mandi, belum packing, belum beres-beres, belum beli pesenan orang rumah, sementara kereta berangkat setengah tujuh nanti. Hwaaaaa~<br />
<br />
”Dodol bener dah kalo nggak jadi pulang kampung gara-gara kelamaan di Kebumen. Hahahaha...”<br />
<br />
++++++++++++++++++++++++++++++<br />
<br />
Next:<br />
<a href="http://ekstasejalanan.blogspot.com/2010/09/gombong-kebumen-mozaik-2-benteng-yang.html">[Gombong-Kebumen] Mozaik 2: Benteng yang Kehilangan Nuansanya</a>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4920353704142195189.post-76161547246037359652010-08-12T23:26:00.001+07:002010-08-12T23:32:17.033+07:00Romantika NyasarKatanya, orang-orang bergolongan darah B adalah orang-orang yang paling gampang nyasar. Entah ilmiah atau tidak, valid atau tidak, kenyataannya, hal itu bisa dibilang tepat bagi saya. Rasanya bisa dihitung jari, berapa kali saya 'berhasil' pergi ke suatu tempat baru tanpa insiden nyasar. Bahkan, jangankan pergi ke tempat baru, pergi ke tempat yang baru seminggu sebelumnya saya datangi pun saya bisa nyasar. Nyasar seolah tak pernah lekang dari segala bentuk perjalanan saya.<br />
<br />
Nyasar di Jakarta? Jangan ditanya. Beribu kali mungkin. Maka, jangan tanya di pelosok mana saja saya pernah nyasar. Jangan tanya pula bus dan angkot mana saja yang pernah saya naiki dalam episode-episode nyasar itu. Jangan tanya pula berapa kilometer saya pernah berjalan kaki menyusuri jalanan Jakarta yang panas nan penuh polusi gara-gara nyasar.<br />
<br />
Merantau dari Jakarta, petualangan nyasar saya berlanjut di Kota Pelajar. Cerita-cerita bodoh nan konyol pun berkali-kali terjadi. Setelah dipikir-pikir,pangkalnya sebagian besar adalah ke'soktahu'an saya sendiri sepertinya, haha. Pernah suatu kali saya dan beberapa teman ingin menghadiri sebuah acara. Di pamfletnya tertulis, 'di samping Universitas Mercu Buana'. Oh, Universitas Mercu Buana kan di Gamping, begitu pikir saya. Maka dengan pedenya, kami menaiki bus Jalur 15.Satu setengah jam kemudian, sampailah kami di depan Universitas Mercu Buana Gamping. Eng... ing... eng... Tempat yang dimaksud dalam pamflet tidak ada disana. Kami pun tercekat ketika menyadari bahwa Universitas Mercu Buana yang dimaksud adalah kampus 2 yang berada di Gejayan, sekitar lima belas menit perjalanan dari tempat awal kami menyetop bus tadi.<br />
<br />
Nyasar pun seolah menjadi adegan yang 'wajib' ada dalam cerita-cerita bolang saya. Di ketinggian Dieng Plateu, nyasar. Dari situs ke situs di Trowulan, hampir nyasar. Melintasi lautan kabut Bromo, nyasar dan nyaris kehilangan arah. Dalam perjalanan ke pantai selatan Banyuwangi, nyasar.Menyusuri jalanan Bali dari Denpasar ke Sanur, nyasar. Ke Candi Sukuh, nyasar. Ah, kapan sih saya jalan-jalan dan nggak nyasar? -_-<br />
<br />
Betapapun, saya menikmati segala ke-nyasar-an itu. Bagi saya, nyasar tidak sekedar membuang-buang waktu sia-sia. Saya belajar banyak hal dari sana. Nyasar membuat saya mengetahui jalan-jalan alternatif yang jarang sekali dilirik orang. Nyasar membuat saya hafal rute-rute kendaraan umum, harus naik apa kalau mau ke mana. Saat nyasar, saya menemukan banyak sekali hal baru yang mungkin sebelumnya luput dari perhatian.<br />
<br />
Bagi saya, nyasar adalah bagian dari romantika kehidupan. Nyasar membuat saya memahami bahwa hidup memang tidak selamanya linear. Seringkali kita perlu tersasar terlebih dahulu sebelum menemukan jalan yang 'benar'. Bahkan terkadang, justru kita bisa menemukan jalan yang 'lebih baik' saat tersasar itu. Nyasar memaksa dan menyeret saya keluar dari zona nyaman saya, membuat saya berpikir <i>out of the bo</i>x dalam mencari jalan keluar. Nyasar membuat saya memaknai hidup sebagai sebuah proses pencarian, yang tak akan berhenti hanya karena tersasar di tengah jalan.<br />
<br />
Ketika nyasar, mungkin rasanya memang menyebalkan. Kesal, lelah, peluh, panik, bimbang, resah, semuanya. Namun setelahnya, yang tersisa adalah romantika dan kenangan manis, bukan?<br />
<br />
Hidup juga, seperti itu, kan?<br />
<br />
<br />
Rumah, 12 Agustus 2010Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4920353704142195189.post-23845255986534920632010-08-03T22:42:00.001+07:002010-08-06T09:36:20.124+07:00Terima Kasih, MerapiTerima kasih untuk Merapi,<br />
yang mengajariku tentang kesabaran<br />
<br />
Terima kasih untuk Merapi,<br />
yang mengajariku tentang meniti perlahan<br />
<br />
Terima kasih untuk Merapi,<br />
yang mengajariku tentang menekan ego<br />
<br />
Terima kasih untuk Merapi,<br />
yang mengajariku makna bekerja di balik layar<br />
yang menjawab tanya dalam benakku bertahun silam<br />
mengapa <i>tut wuri handayani</i> yang menjadi slogan Departemen Pendidikan<br />
<br />
Terima kasih, Merapi<br />
untuk tajam bebatuannya, untuk riuh-rendah anginnya, untuk butiran pasir dan debunya, untuk sengatan mataharinya yang membakar dalam senyap, untuk hembusan uap belerangnya, untuk kawahnya, untuk puncaknya<br />
<br />
dan terutama, untuk Tuhan yang menciptakannya dan mengizinkanku menjejakkan kaki di sana<br />
<br />
Untuk segala pelajaran dan keping mozaik yang terserak di sepanjang perjalanan naik dan turunnya, sekali lagi, terima kasih...<br />
<br />
<br />
Merapi, 1-2 Agustus 2010<br />
ditulis di Yogyakarta, 3 Agustus 2010<br />
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhcXuwEwHq6SHC_hBvGivOTd1UZiGS-5MlB55Wp_u_l4Eb0fMXMaWTDEMwZaSQsJXB44oWs8s4ZJP6BjmOqOKI3iz0xWviXc379qjBSoqhPtN8091rawgDaNY4uI5Duaitt9brpiZjPRrT7/s1600/merapi.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhcXuwEwHq6SHC_hBvGivOTd1UZiGS-5MlB55Wp_u_l4Eb0fMXMaWTDEMwZaSQsJXB44oWs8s4ZJP6BjmOqOKI3iz0xWviXc379qjBSoqhPtN8091rawgDaNY4uI5Duaitt9brpiZjPRrT7/s320/merapi.jpg" /></a></div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4920353704142195189.post-872295737522723202010-07-25T21:14:00.002+07:002010-08-03T22:47:34.733+07:00[Perjalanan Penuh Nekat] Baron-Kukup, Tempat Gunung dan Laut BertemuOke, perjalanan ini memang perjalanan nekat. Didasari oleh kenekatan, penuh hal-hal nekat, dan diakhiri dengan kenekatan pula.<br />
<br />
Awalnya adalah tanpa rencana. Hanya sekedar ingin ‘melarikan diri’ sejenak. Berbekal secuil informasi dari internet, Senin itu, selepas kuliah bahasa Inggris, saya berdua dengan seorang teman sejurusan, nekat langsung jalan saja.<br />
<br />
Kami memang ‘anak bus’. Maka perjalanan hari itu juga kami tempuh dengan bus. Bus jalur 4 UGM-Ring Road Selatan Rp 2.500,00, lanjut bus Jogja-Wonosari sampai terminal Wonosari Rp 6.000,00. Keluar dari terminal, di pinggir jalan ada angkudes (angkutan desa) bertuliskan Wonosari-Baron Rp 7.500,00. Begitulah rute angkutan umum kami hari itu menuju Pantai Baron, satu pantai di daerah Gunung Kidul yang dijangkau kendaraan umum.<br />
<br />
Perjalanan tiga jam lebih itu bukan perjalanan yang mudah. Melintasi Gunung Kidul berarti melewati jalan yang berkelok-kelok naik-turun. Bagi yang tidak terbiasa dan memiliki kecenderungan mabuk darat, bisa pusing dan mual. Tapi sungguh, perjalanan panjang itu benar-benar tidak sia-sia.<br />
<br />
<a name='more'></a>Tepat tengah hari, pukul 12 siang, kami menginjakkan kaki di pelataran parkir bus Pantai Baron. Semilir angin menguarkan aroma laut yang segera saja memenuhi indera penciuman kami. Tujuan pertama kami, yang memang belum sempat sarapan pagi, tentu saja: warung makan!<br />
<br />
Usai makan, kami mengganti sepatu dengan sandal jepit dan berlari-lari kecil menuju muara sungai yang memang berakhir di Laut Selatan bagian pantai ini. Yang unik, sungai yang bermuara di sini adalah sungai bawah tanah, yang mengalir dari celah-celah gua bawah tanah. Di sisi-sisi seberang sungai, ada ceruk-ceruk kecil yang terletak sedikit lebih tinggi dari permukaan sungai saat itu --entah saat pasang tengah malam-- sehingga daratan di bawah ceruk-ceruk itu terlihat seperi pulau terisolir. Untuk mencapai ceruk-ceruk itu, kami harus menyeberang melintang melawan arus sungai yang lumayan deras, cukup deras untuk membuatku tidak bisa bergerak lurus, harus berjalan dengan kemiringan entah berapa derajat. Usaha melawan tarikan arus itu terbayar dengan pemandangan bebatuan mineral warna-warni yang mengeras di dalam ceruk. Indah sekali.<br />
<br />
Masih ingat tentang gempa Wonosari yang berpusat di Laut Selatan beberapa minggu lalu? Karena itulah mungkin, di bibir pantai, ada papan yang menyeru agar waspada tsunami bila terjadi gempa yang diikuti dengan surutnya air laut dengan volume tidak wajar.<br />
<br />
Meski sama-sama terletak di provinsi DIY dan menghadap ke Laut Selatan, ombak di sini memang tidak seheboh di Parangtritis. Mungkin karena di sini bertebaran karang-karang besar yang memecah gelombang sebelum sampai pada kami.<br />
<br />
Pantai-pantai daerah Gunung Kidul adalah tempat gunung dan laut bertemu. Di bukit-bukit sebelah kiri kalau kita menghadap ke arah laut, ada jalan setapak yang kalau ditelusuri akan membawa kita sampai di Pantai Kukup, salah satu pantai lain di Gunung Kidul. Namanya jalan setapak di perbukitan, tentu bukan jalan mulus yang mudah ditempuh. Namun, dari pinggiran tebing di jalan setapak naik-turun bukit antara Baron-Kukup itu, kita dapat melihat pemandangan pantai dan laut dari ketinggian, juga tebaran karang-karang yang tak akan terlihat kalau tidak naik ke sana. Saat itu, saya merasa seolah-olah kami tidak sedang berada di Indonesia, melainkan di negeri antah-berantah entah di mana. Benar-benar menakjubkan. Satu yang sangat saya sesalkan, foto-foto yang kami ambil, tidak ada yang bisa menyamai, sepersepuluh saja, keajaiban yang dilihat langsung oleh mata kami. Memang ya, buatan manusia, seperti apapun, tidak akan pernah mampu menyamai ciptaan Tuhan.<br />
<br />
Kukup. Dari kejauhan, Kukup terlihat seperti rawa yang berbatasan dengan laut, karena sebelum laut, ada hamparan hijau-kecoklatan yang membentang. Begitu sampai di sana, kami baru sadar: itu rumput laut! Oh, baru sekali ini aku melihat ‘padang’ rumput laut seperti ini. Rumput laut itu terasa kenyal, seperti jeli, dan begitu ditarik, terasa seperti karet. Di Pantai Kukup, banyak penduduk sekitar sana yang menambang --entah apa istilah tepatnya-- rumput laut tersebut. Juga ada beberapa orang yang bersiaga dengan pancing dan jala, bukan untuk mengambil rumput laut tentunya.<br />
<br />
Dan momen itu bernama shalat. Di atas karang, diiringi desau angin dan deburan ombak, kami menjamak shalat Dzuhur dan Ashar. Menentukan kiblat dari melihat arah matahari yang mulai condong ke barat. Terasa begitu larut, menyatu dengan alam.<br />
<br />
Kembali ke Baron, kembali melewati jalan tempat pantai terlihat begitu menakjubkan itu. Meski sudah berkali-kali, rasanya mata ini tak bosan-bosan memandang. Terlebih, karena hari mulai senja, pantulan cahaya matahari yang hampir terbenam membuat segalanya lebih mengagumkan.<br />
<br />
Menuju tempat parkir bus, kami terperangah. Tidak ada satupun angkudes di sana. Bertanya kepada seorang laki-laki yang sedang mencuci mobil, dan dijawab dengan: “Wah, kendaraan umum di sini cuma sampe jam 3, dek." Saya melirik jam dan mendapati, jam lima kurang seperempat. Bagus sekali.<br />
<br />
Kami terdiam, mencoba menjernihkan pikiran, memikirkan beberapa alternatif jalan keluar. Seorang tukang ojek menawari kami ojek sampai terminal Wonosari, berdua delapan puluh ribu rupiah. Gila bener, memang tampang kucel seperti kami dikira mau membayar semahal itu?! Lagipula, belum tentu ketika sampai di terminal, masih ada bus yang ke arah Jogja. Saat itulah, sebuah titik terang melintas di hadapan kami. Satu keluarga kecil; ibu, ayah, dan satu anak kecil, berjalan menuju mobil mereka yang terparkir di hadapan kami. Mobil itu masih muat untuk ditambah kami berdua.<br />
<br />
“Gimana nih, mau nebeng aja?”<br />
“Mmm… gimana ya? Berani nggak bilangnya?”<br />
“Mmm…”<br />
“Mmm…”<br />
Maju-mundur-maju-mundur-maju-mundur.<br />
<br />
Sebentar lagi mobil itu berjalan pergi, dan kesempatan kami akan berlalu. Tiba-tiba, saya teringat guru yang sangat berharga bernama pengalaman, yang 'menampar' saya saat ke Kaliurang: kesempatan tidak akan datang dua kali. Ah ya sudah, nekat saja!<br />
<br />
Maka dimulailah episode menahan gengsi, menebalkan muka itu.<br />
“Mmm… Mas, maaf, mau pulang ke arah mana ya?”<br />
“Ke Jogja.”<br />
“Oh ke Jogja. Mmm.. kita ketinggalan bus, kalau mau ikut numpang boleh nggak?”<br />
“Hm?” Laki-laki itu terdiam sejenak. “Tanya nyonya besar.”<br />
Maka kami mengulangi kalimat yang sama pada sang nyonya.<br />
“Oh boleh-boleh, ayo naik.” Jawaban itu membuat kami lega seketika. Kami tidak jadi bermalam di Pantai Baron!<br />
<br />
Meski keberadaan anak kecil itu membuatku sedikit tenang, tetapi rasa was-was tetap ada. Bagaimana kalau kami diculik? Bagaimana kalau mereka ternyata buronan? Dan berbagai bagaimana horor lainnya. Karena itu, saya berusaha tidak lengah sedikit pun, betul-betul memperhatikan jalan, dan bersiap membuka kunci pintu sampingku apabila keadaan memaksa. Untuk berjaga-jaga, saya menghafal nomor polisi mobil itu dan mengirimkannya sebagai SMS pada seorang teman, dengan sedikit catatan: kalau aku tidak kembali malam ini, tolong segera hubungi polisi dan laporkan plat nomor mobil ini. Serasa di cerita-cerita detektif.<br />
<br />
Syukurlah, pikiran-pikiran hororku itu tidak menjadi kenyataan, dan kami sampai di Jogja dengan aman dan selamat. Sepanjang perjalanan, kami berbincang ringan dengan keluarga itu. Satu ketika, sang bapak bertanya,<br />
“Udah berapa tahun di Jogja?”<br />
“Baru semester 1.”<br />
“Semester 1 itu udah berapa bulan berarti?”<br />
“Mmm… belum nyampe tiga bulan?”<br />
“Belum tiga bulan udah berani jalan sendiri sampe Baron? Ckckck… nekat!”<br />
“Kalau aku jadi kalian sih, aku udah nangis kali…” sambung sang ibu muda.<br />
Dan kami hanya nyengir kuda.<br />
<br />
Begitulah. Perjalanan ini memang perjalanan nekat. Didasari dengan kenekatan, penuh hal-hal nekat, dan diakhiri dengan kenekatan pula. Tapi, nekat itu, bagian dari hidup kan?<br />
<br />
<br />
P.s.:<br />
tulisan ini pernah di-publish di note Facebook saya, tertanggal 7 Oktober 2009, dengan sedikit perubahanUnknownnoreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-4920353704142195189.post-35889467150410958932010-07-25T20:39:00.002+07:002010-07-25T21:04:26.521+07:00Menikmati PerjalananSaya pernah beberapa kali mengajak beberapa teman untuk berjalan-jalan ke suatu tempat, dan ditanggapi dengan skeptis seperti ini:<br />
“Ah, emang nanti di sana mau ngapain?”<br />
“Males ah, ntar udah capek-capek sampe sana cuma foto-foto doang.”<br />
<br />
Pernah juga suatu kali saya dan beberapa orang teman melakukan perjalanan panjang yang cukup melelahkan ke suatu tempat. Sampai di sana, salah seorang dari mereka hanya berkomentar, “Cuma begini doang? Ah sia-sia amat perjalanan susah-susah cuma kayak gini aja.”<br />
<br />
Oh boi, saya langsung berpikir, sepertinya saya mengajak orang yang salah.<br />
<br />
Bagi saya, jalan-jalan bukan hanya sekedar sampai ke tempat tujuan, melakukan suatu kegiatan di sana, lalu pulang. Jalan-jalan bagi saya adalah keseluruhan cerita, mulai dari perjalanan berangkat, di tempat tujuan, dan perjalanan pulang. Bahkan terkadang, saat saya begitu menikmati suatu perjalanan, destinasi tak lagi menjadi soal.<br />
<br />
<a name='more'></a>Selalu ada kenikmatan tersendiri dalam perjalanan. Saya menikmati belaian angin yang menyelusup dari bukaan jendela kendaraan. Saya menikmati pemandangan yang terhampar di sepanjang perjalanan, juga berbagai fenomena sosial yang tertangkap begitu saja oleh kedua mata saya dalam perjalanan. Saya menikmati sensasi perjalanan yang berkelok naik-turun, kadang mulus meski sering juga melewati jalan rusak atau berbatu. Saya menikmati saat-saat berdiri dalam bus, menikmati saat-saat menanti kondektur dengan tegang sambil bertanya-tanya seberapa mahal ongkosnya. Saya menikmati derap langkah yang mulai tertatih kelelahan, dan kenikmatan luar biasa saat bisa istirahat sejenak. Saya menikmati sengatan matahari yang seolah membakar ubun-ubun kepala, dan saat-saat menenggak beberapa tetes air yang serasa mata air dari surga. Saya menikmati saat-saat gairah petualang yang membanjiri sekujur tubuh, mengalir derasa di urat saraf dan pembuluh darah. Saya menikmati berbagai cerita yang terjadi dalam perjalanan.<br />
<br />
Selalu ada cerita dalam perjalanan. Ada cerita tentang menumpang mobil orang tak dikenal karena kehabisan kendaraan umum. Ada cerita tentang meminjam handphone dan meminta pulsa asing yang duduk di sebelah saya karena terjebak macet dan hujan malam-malam di tengah belantara ibukota sedang handphone saya mati habis baterai, padahal saya belum memberi kabar pada orang rumah. Ada cerita tentang kabur begitu saja dari angkot karena melihat abangnya tonjok-tonjokan dengan abang angkot lain seperti di sinetron, lalu dikejar sang abang angkot karena belum bayar. Ada cerita tentang numpang menginap di tempat teman dari temannya dosen saya. Ada cerita tentang ditipu-tipu sopir angkutan. Ada cerita tentang Bali yang sangat tidak ramah bagi pejalan kaki dan <i>backpacker</i> nan kere seperti saya. Ada cerita tentang berjalan kaki dari pintu masuk Kawah Putih sampai atas, menjadi tontonan dan diselamati orang-orang begitu tiba di atas, karena sebelumnya tak ada orang yang mau berjalan kaki naik begitu, penduduk asli sekalipun. <br />
<br />
Tak hanya cerita heboh, konyol dan nekat, dalam perjalanan juga selalu ada cerita lainnya, jenis cerita yang mengagumkan tentang kekompakan, kerja sama, dan bahu-membahu saling menjaga. Selalu ada cerita tentang kepedulian, saat harus menekan ego pribadi demi kepentingan bersama. Selalu ada cerita tentang pahit-manis yang dibagi bersama. Dan tentu saja, selalu ada cerita tentang kenangan yang tak terlupakan.<br />
<br />
Perjalanan mengajarkan saya banyak hal. Mengembalikan gairah hidup yang mungkin sempat menghilang, menyelamatkan saya dari rutinitas yang mematikan. Memberi saya beragam pengalaman menakjubkan. Yang semanis madu, yang sepahit kopi, yang sekecut limau, yang seasin garam, yang sepedas cabai, semuanya ada. Ah, saya benar-benar menikmati perjalanan. <i>Man, traveling is not just about destination, but also the journey itself</i>!<br />
<br />
<br />
P.s.:<br />
tulisan ini pernah di-<i>publish</i> di <i>note</i> Facebook saya, tertanggal 30 Oktober 2009, dengan sedikit perubahan dan tambahanUnknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4920353704142195189.post-21752184600453375782010-07-25T20:32:00.000+07:002010-07-25T20:32:40.594+07:00Tentang Perjalanan, dan PergerakanOrang berilmu dan beradab tidak akan diam di kampung halaman<br />
Tinggalkan negerimu dan merantaulah ke negeri orang<br />
Merantaulah, kau akan mendapatkan pengganti kerabat dan kawan<br />
Berlelah-lelahlah, manisnya hidup terasa setelah lelah berjuang<br />
<br />
Aku melihat air menjadi rusak karena diam tertahan<br />
Jika mengalir menjadi jernih, jika tidak, kan keruh menggenang<br />
<br />
Singa jika tak tinggalkan sarang tak akan dapat mangsa<br />
Anak panah jika tak tinggalkan busur tak akan kena sasaran<br />
<br />
Jika matahari di orbitnya tidak bergerak dan terus diam<br />
Tentu manusia bosan padanya dan enggan memandang<br />
<br />
Bijih emas bagaikan tanah biasa sebelum digali dari tambang<br />
Kayu gaharu tak ubahnya kayu biasa saat masih di dalam hutan<br />
<br />
-Imam Syafii-Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4920353704142195189.post-106865868489396852010-07-25T20:16:00.002+07:002010-07-25T20:27:57.759+07:00InspirasiSaya menikmati perjalanan, seperti saya menikmati menulis dan membaca.<br />
<br />
Terima kasih untuk Matatita, Andrei Budiman, Andrea Hirata, dan 24 Juli 2010 yang berharga, yang telah mencambuk saya untuk mengejawantahkan dan mengompilasi kecintaan saya pada perjalanan, menulis, dan membaca.<br />
<br />
Maka, jadilah blog ini. Doakan saya agar tetap istiqamah dalam meng-update, haha.Unknownnoreply@blogger.com0