Monday, March 19, 2012

[South Celebes] Toraja: Tempat Orang Hidup Berdampingan dengan yang Mati (Part 2)

Part 1: http://ekstasejalanan.blogspot.com/2012/03/south-celebes-toraja-tempat-orang-hidup.html

Saya mengerjap ketika Mbak Eva membuka jendela kecil di hadapan papan tempat tidur kami, membuat seberkas cahaya menerobos masuk, menyilaukan. Melirik jam tangan, sudah jam sembilan! Tak lama, Mbak Marla masuk dan meminta kami menuju alang. Kami mengangguk dan bergegas turun.

Di mata saya yang awam ini, alang terlihat agak mirip tongkonan, hanya saja berukuran lebih kecil dan lebih sederhana. Bagian dalamnya hanya terdiri dari satu bilik tempat menyimpan padi. Dengan model seperti rumah panggung, bilik kecil itu disangga tiang yang tinggi, membuatnya terkesan jangkung. Bagian bawah alang yang terbuka biasanya digunakan untuk menerima tamu. Seperti bale-bale  dalam kebudayaan Betawi, mungkin. Ada empat alang berjejer menghadap tongkonan yang tadi kami tempati. Di salah satu alang tersebut, sudah ada sepiring pisang rebus dan gelas-gelas berisi teh dan kopi yang uapnya masih mengepul.

Sambil menikmati hidangan, kami berbincang santai. Mbak Marla meminta kami sudah siap sekitar pukul setengah 12, karena upacara akan dimulai tepat setelah matahari melewati sumbu tengahnya. Secara umum, upacara di Toraja dibagi menjadi dua jenis, upacara yang berkaitan dengan kelahiran atau syukuran dan upacara yang berkaitan dengan kematian. Upacara syukuran biasanya dilakukan pagi hari, sementara upacara yang berkaitan dengan kematian baru dilakukan setelah matahari tergelincir ke arah barat. Ketentuan itu didasarkan pada filosofi pergerakan matahari dari timur ke barat sebagai representasi kehidupan dan kematian.

Mbak Marla bercerita bahwa upacara yang akan kami hadiri siang ini adalah upacara mengarak jenazah keliling kampung. Pemakamannya sendiri baru akan dilangsungkan beberapa hari kemudian. Di Toraja, upacara kematian, khususnya bagi orang-orang yang mempunyai kedudukan atau pemuka adat, memang bukan hal yang sederhana. Rangkaian acara puncak upacaranya sendiri bisa sampai seminggu, terdiri dari prosesi arak-arakan, penerimaan tamu, penyembelihan kerbau dan babi, sampai pemakaman. Persiapannya bisa memakan waktu jauh lebih lama lagi. Semakin tinggi kedudukan orang tersebut, semakin meriah upacaranya, semakin banyak dan istimewa kerbau yang harus disembelih nantinya.


Arak-arakan

Sedikit kesulitan mendapat angkutan umum, saya dan Mbak Marla terlambat sampai ke lokasi upacara, tongkonan Randan Batu. Arak-arakan jenazah sudah berangkat. Tepat sebelum perasaan kecewa menenggelamkan saya, Mbak Marla menenangkan. Ia berkata bahwa tak lama lagi rombongan arak-arakan akan tiba kembali dan kami bisa mengikuti prosesi berikutnya.

Sekitar lima belas menit berselang, bunyi tabuhan gong membahana di udara. Tak berapa lama, beberapa laki-laki berpakaian hitam berjalan dalam barisan memanjang ke belakang, masing-masing membawa batangan bambu panjang tipis berbendera yang tampaknya berfungsi seperti panji-panji. Di belakang mereka, sumber suara tabuhan tadi muncul: dua orang laki-laki berpakaian senada memikul gong dengan bantuan sebilah bambu. “Kalau pake gong, tandanya orang yang diupacarakan itu kedudukannya tinggi,” tutur Mbak Marla. Pembawa gong tersebut diikuti lagi oleh orang-orang yang membawa panji-panji.

Setelah pembawa gong dan panji-panji, berikutnya adalah kerbau besar yang dipilih sebagai simbol dari puluhan kerbau lain yang nantinya akan dikurbankan. Untuk upacara kematian bangsawan tinggi, jumlah kerbau yang dikurbankan minimal 24 ekor. Selain jumlah, jenis kerbau yang diarak juga dapat menunjukkan status sosial si mati. Yang paling istimewa adalah kerbau belang. Jenisnya yang langka membuat harganya melambung tinggi. “Bisa mencapai 200 juta seekor,” ungkap Mbak Marla datar, membuat saya berdecak. Kerbau kurban itu diikuti oleh serombongan laki-laki berpakaian hitam, salah satunya membawa foto orang yang meninggal. Di belakang mereka, berjalan serombongan perempuan berpakaian hitam atau putih.

Ada jeda beberapa menit sampai akhirnya rombongan utama tiba. Dari kejauhan, sebuah keranda merah beratap serupa tongkonan tampak berkilau tertimpa sinar matahari siang. Keranda itu diusung oleh lebih dari sepuluh laki-laki. Di depan mereka, belasan perempuan berjalan berbanjar menjunjung kain merah panjang. Sorakan ritmis dalam bahasa yang tidak saya pahami dan dentum tumbukan alu bertalu-talu dari lapangan tempat upacara menyambut kedatangan rombongan pengusung keranda tersebut. Berderap pasti, mereka menuju ke tengah lapangan, meletakkan keranda di tanah dengan gerak menyentak. Sorak dan segenap suara serentak berhenti, lalu hening.

(bersambung)








No comments:

Post a Comment