Monday, March 19, 2012

[South Celebes] Toraja: Tempat Orang Hidup Berdampingan dengan yang Mati (Part 1)

Mendengar kata Toraja, apa yang pertama kali terlintas di benak? Legenda mayat berjalan, begitu komentar seorang teman di status saya. Benarkah?

Dari Terminal Daya, Makassar, perjalanan menuju Toraja dapat ditempuh dengan menggunakan bus selama kurang-lebih  delapan jam kalau berangkat malam hari, sedikit lebih lama kalau berangkat pagi hari. Tarif bus bervariasi tergantung fasilitas yang ditawarkan, antara 60.000 - 100.000 rupiah sekali jalan.

Secara administratif, Toraja terbagi menjadi dua kabupaten, Kabupaten Tana Toraja yang berpusat di Makale dan Kabupaten Toraja Utara dengan ibu kota di Rantepao. Meski begitu, secara adat, Tana Toraja dan Toraja Utara tetaplah merupakan satu kesatuan yang terbagi lagi menjadi 32 wilayah adat dan lebih banyak subwilayah adat. Di masing-masing wilayah adat dan subwilayah adat, ada rumah adat yang disebut tongkonan, tempat pemangku adat dan keluarganya tinggal.

Seperti yang sudah saya tulis di catatan sebelumnya, meski nekat, perjalanan ini bukan berarti tanpa persiapan. Sebelum berangkat, saya sempat sedikit bertanya-tanya pada seorang dosen yang pernah beberapa kali ke Toraja. Dosen tersebut kemudian menyebut nama Mbak Marla di tongkonan Buntupune, Toraja Utara. Sayangnya, tidak ada nomor telepon untuk dihubungi sebelumnya. Meski begitu, sang dosen meyakinkan saya bahwa tempat Mbak Marla yang juga merupakan alumni arkeologi Universitas Hasanuddin ini pasti tidak sulit ditemukan. Katakan saja pada kondektur bus untuk diturunkan di jalan menuju Ke’te Kesu, pasti mereka tahu. Buntupune memang terletak tidak jauh dari salah satu objek wisata andalan Toraja itu. Maka, ke sanalah saya menuju.

Menggunakan bus malam, saya tiba di Toraja pukul setengah lima dini hari. Oleh kondektur bus, saya diturunkan di pertigaan patung kerbau. Untuk menuju tongkonan Buntupune, dari sana masih harus berjalan sekitar 500 meter lagi. Bisa juga menggunakan ojek atau becak motor yang memang ngetem di pertigaan tersebut.

Gonggongan anjing sahut-menyahut menyambut begitu saya menginjakkan kaki memasuki area tongkonan. Menatap sekeliling, saya terperangah. Dalam remang siluet subuh, ada enam bangunan yang tampak serupa di halaman tengah. Di belakangnya, ada bangunan lagi berbentuk memanjang. Pintu mana yang harus saya ketuk? Langkah saya semakin surut ketika seekor anjing berlari mendekat sambil terus menyalak ribut. Menenangkan diri dan berlagak seolah yakin, saya melangkah ke arah bangunan memanjang di belakang dan mulai mengetuk pintu. Sekali ketuk, tidak ada jawaban. Dua kali, tiga kali, empat kali ketuk, sama saja. Anjing itu mulai mengitari saya dan mengendus-endus. Saya mulai ketar-ketir, merutuki kenapa saya tidak menghubungi terlebih dahulu. Tapi, mau menghubungi ke mana memangnya? Nyaris putus asa, pada ketukan kelima, terdengar suara seorang wanita menyahut dari dalam. Tak lama, seraut wajah menyembul membukakan pintu. “Mbak Marla?” tanya saya harap-harap cemas. Wanita itu mengangguk dengan ekspresi bingung. Ah syukurlah, Tuhan memang maha baik!

Ditemani kepulan uap tipis dari teh panas yang disuguhkan di dinginnya subuh buta itu, saya dan Mbak Marla berkenalan dan berbincang singkat. Menjelaskan kalau saya adalah mahasiswa arkeologi UGM, dapat nama Mbak Marla di tongkonan Buntupune dari seorang dosen, dan blablabla. “Kamu nanti malam tidur di tongkonan ya, nggak papa kan?” Tawaran Mbak Marla itu serta merta membuat saya melonjak girang. Tentu saja! Belum reda euforia saya membayangkan akan tidur di rumah adat yang eksotis itu, Mbak Marla kembali berbicara. “Oh ya, kebetulan sekali, hari ini ada arak-arakan jenazah upacara kematian pemangku adat desa Randan Batu. Nanti ikut keluarga kami saja.” Saya tidak bisa lebih jungkir-balik lagi. Seperti yang dikatakan seorang teman, belum sempurna rasanya pergi ke Toraja kalau belum menyaksikan upacara kematian. Padahal, tidak setiap saat ada ritual tersebut. Keberuntungan ganda! :D

Selesai menghabiskan penganan yang disuguhkan, Mbak Marla mengantar saya ke tongkonan untuk meletakkan barang bawaan dan beristirahat. Ternyata, enam bangunan yang tadi bagi saya terlihat serupa itu tidak semuanya tongkonan. Ada dua tongkonan berjajar di sebelah timur dan barat, dan empat alang (lumbung padi) yang berukuran lebih kecil di hadapannya. Kami menuju tongkonan yang paling barat. Untuk memasuki bagian utama rumah, kami harus menaiki tangga kayu yang sempit dan curam. Mbak Marla sempat memperingatkan saya untuk menunduk, karena ada palang kayu yang melintang di pertengahan jalan menuju ke atas. Sayangnya terlambat, haha -,-.

Menjejakkan kaki di bagian utama rumah, aroma kayu yang khas menyergap indera penciuman saya. Gelap. Mbak Marla menyalakan lampu tengah yang cahayanya sudah temaram. Perlahan, mata saya mulai mengenali keadaan. Bagian rumah ini terbagi menjadi tiga bilik. Dari ketiganya, hanya bilik paling belakang yang disekat sempurna, itupun dengan dinding kayu yang tidak rapat susunannya. Dua bilik di depannya hanya dipisahkan oleh perbedaan ketinggian lantai dan beberapa tiang. Ada seseorang yang tampaknya tertidur di bilik paling depan. Selain itu, kosong. Tidak ada kamar mandi, dapur, atapun ruangan pelengkap lain yang biasa ada di rumah modern lainnya.

Mbak Marla menggiring saya memasuki bilik paling belakang, melewati pintu seadanya setinggi setengah badan saya. Di sana sudah ada seorang perempuan yang tampaknya terbangun mendengar kedatangan kami. Masih setengah tidur, ia memperkenalkan dirinya sebagai Eva, dosen psikologi Universitas 45 yang sedang mengadakan penelitian di Toraja. Mbak Marla memberi isyarat agar saya beristirahat dulu beberapa jenak, sembari mengingatkan bahwa nanti siang kami akan menghadiri upacara kematian. Saya mengangguk dan merebahkan diri di sebelah Mbak Eva.  Diiringi gonggongan anjing yang terdengar lirih dan semilir angin dari jendela kecil yang tidak bisa ditutup rapat, saya memejamkan mata. Gelitik penasaran yang sudah hampir meledakkan kepala ini tampaknya masih harus bersabar beberapa saat lagi.

(bersambung)

No comments:

Post a Comment