Aku membaca baris-baris itu dengan tak sabar. Uraian singkat dari Wikipedia itu sama sekali tak menjelaskan apa-apa, apalagi menjawab rasa penasaran. Tenanglah. Sebentar lagi aku akan melihatnya sendiri. Sebentar lagi...
++++++++++++++++++++++++++++++
Berjalan kaki sekitar satu kilometer dari tempat turun bus, jalan utama jalur selatan Yogya Purwokerto atau Yogya-Cilacap, kami sampai di gapura ’Selamat Datang di Taman Wisata Benteng Van Der Wijck’. Taman wisata?
Melewati gapura tersebut ke arah gerbang barat benteng, keherananku tentang penggunaan terminologi ’taman wisata’ di gapura terjawab. Oleh pengelolanya, tempat ini benar-benar disulap layaknya taman wisata. Ada kereta keliling, replika tokoh-tokoh kartun, kolam renang, sepeda air, bahkan kereta mini di atas benteng! Heeeeh =,=
Dominasi warna merah-oranye membuat benteng ini tampak mencolok dibanding sekitarnya. Warna merah-oranye tersebut sekarang berasal dari cat, entah apakah dulu memang warnanya seperti itu atau bagaimana. Benteng berbahan dasar bata ini berbentuk segi delapan dengan bagian tengah berupa lapangan yang cukup luas. Dengan tinggi sekitar sepuluh meter, benteng ini terdiri dari dua lantai, -belum termasuk pos pengintaian dan cerobong asap yang sejajar dengan atap.
Masuk ke bagian dalam, lorong-lorong lengkung menyambut. Bayangan tentang benteng peninggalan Belanda yang muram dan angkuh lenyap seketika ketika melihat satu set pelaminan di salah satu ruangan di lantai satu. Papan plang di depannya bertuliskan: studio foto. Tempat ini sering digunakan untuk lokasi foto pre-wedding rupanya. Hadeh!
Naik ke lantai dua, melewati tangga putar yang cukup gelap. Foto-foto hitam-putih dari masa lalu berjejer, kebanyakan merupakan foto-foto militer, dipajang dalam barak-barak yang dulu merupakan asrama para perwira. Semakin jauh dari gerbang masuk, aura suram baru mulai terasa. Ruang-ruang kosong yang dingin, lantai dan tembok yang retak dan berlumut, kait-kait di tembok dan atap, dan gaung yang timbul karena ketukan langkah kami.
Di empat dari delapan sudut bangunan, ada tangga lagi dari lantai dua untuk naik ke puncak benteng. Dari empat tangga tersebut, hanya satu yang kini dibuka dan bisa dilewati. Tangga itu dibuka untuk lewat pengunjung yang ingin menaiki wahana kereta mini mengelilingi atas benteng (aku masih rada gimanaaa gitu dengan kereta mini ini -,-). Sama seperti temboknya, atap benteng ini tersusun dari bata yang tidak akan terlihat dari bawah. Ada bagian datar di puncaknya -yang sekarang menjadi jalur kereta mini. Sepertinya puncak datar itu dulu merupakan jalur pengamanan dan pengintaian para penjaga benteng.
Dasar bangsa yang kreatif, benteng peninggalan kolonial satu ini pun tidak lepas dari coretan-coretan vandalisme. Ada vandalisme klasik macam ’tony ♥ desy’, ada pula yang mungkin terlalu menghayati nuansa horor benteng ini, dan menulis cerita hantu -nggak mutu- di temboknya. Err, kreatif, atau merusak?
++++++++++++++++++++++++++++++
Puas menjelajahi benteng, kami beranjak ke lapangan di tengah dalam benteng. Berbaring begitu saja, menatap langit, menikmati semilir angin, menikmati hening benteng yang seolah menjadi milik kami sendiri -saking hampir tidak ada pengunjung-, aku merenungkan banyak hal. Berpikir tentang pengelolaan benteng warisan budaya ini. Tentang terminologi ’taman wisata’ yang digunakan dan berbagai penambahan yang seolah menghilangkan ’aura-benteng’nya -dan membuatku seolah berasa di Dufan saja. Tentang revitalisasi yang dilakukan. Tentang vandalisme kurang ajar itu. Tentang sepinya pengunjung. Tentang bangsa ini, yang seolah lupa pada sejarahnya sendiri.
+++++++++++++++++++++++++++++
Prev:
[Gombong-Kebumen] Mozaik 1: Perjalanan
No comments:
Post a Comment