Sunday, July 25, 2010

[Perjalanan Penuh Nekat] Baron-Kukup, Tempat Gunung dan Laut Bertemu

Oke, perjalanan ini memang perjalanan nekat. Didasari oleh kenekatan, penuh hal-hal nekat, dan diakhiri dengan kenekatan pula.

Awalnya adalah tanpa rencana. Hanya sekedar ingin ‘melarikan diri’ sejenak. Berbekal secuil informasi dari internet, Senin itu, selepas kuliah bahasa Inggris, saya berdua dengan seorang teman sejurusan, nekat langsung jalan saja.

Kami memang ‘anak bus’. Maka perjalanan hari itu juga kami tempuh dengan bus. Bus jalur 4 UGM-Ring Road Selatan Rp 2.500,00, lanjut bus Jogja-Wonosari sampai terminal Wonosari Rp 6.000,00. Keluar dari terminal, di pinggir jalan ada angkudes (angkutan desa) bertuliskan Wonosari-Baron Rp 7.500,00. Begitulah rute angkutan umum kami hari itu menuju Pantai Baron, satu pantai di daerah Gunung Kidul yang dijangkau kendaraan umum.

Perjalanan tiga jam lebih itu bukan perjalanan yang mudah. Melintasi Gunung Kidul berarti melewati jalan yang berkelok-kelok naik-turun. Bagi yang tidak terbiasa dan memiliki kecenderungan mabuk darat, bisa pusing dan mual. Tapi sungguh, perjalanan panjang itu benar-benar tidak sia-sia.

Tepat tengah hari, pukul 12 siang, kami menginjakkan kaki di pelataran parkir bus Pantai Baron. Semilir angin menguarkan aroma laut yang segera saja memenuhi indera penciuman kami. Tujuan pertama kami, yang memang belum sempat sarapan pagi, tentu saja: warung makan!

Usai makan, kami mengganti sepatu dengan sandal jepit dan berlari-lari kecil menuju muara sungai yang memang berakhir di Laut Selatan bagian pantai ini. Yang unik, sungai yang bermuara di sini adalah sungai bawah tanah, yang mengalir dari celah-celah gua bawah tanah. Di sisi-sisi seberang sungai, ada ceruk-ceruk kecil yang terletak sedikit lebih tinggi dari permukaan sungai saat itu --entah saat pasang tengah malam-- sehingga daratan di bawah ceruk-ceruk itu terlihat seperi pulau terisolir. Untuk mencapai ceruk-ceruk itu, kami harus menyeberang melintang melawan arus sungai yang lumayan deras, cukup deras untuk membuatku tidak bisa bergerak lurus, harus berjalan dengan kemiringan entah berapa derajat. Usaha melawan tarikan arus itu terbayar dengan pemandangan bebatuan mineral warna-warni yang mengeras di dalam ceruk. Indah sekali.

Masih ingat tentang gempa Wonosari yang berpusat di Laut Selatan beberapa minggu lalu? Karena itulah mungkin, di bibir pantai, ada papan yang menyeru agar waspada tsunami bila terjadi gempa yang diikuti dengan surutnya air laut dengan volume tidak wajar.

Meski sama-sama terletak di provinsi DIY dan menghadap ke Laut Selatan, ombak di sini memang tidak seheboh di Parangtritis. Mungkin karena di sini bertebaran karang-karang besar yang memecah gelombang sebelum sampai pada kami.

Pantai-pantai daerah Gunung Kidul adalah tempat gunung dan laut bertemu. Di bukit-bukit sebelah kiri kalau kita menghadap ke arah laut, ada jalan setapak yang kalau ditelusuri akan membawa kita sampai di Pantai Kukup, salah satu pantai lain di Gunung Kidul. Namanya jalan setapak di perbukitan, tentu bukan jalan mulus yang mudah ditempuh. Namun, dari pinggiran tebing di jalan setapak naik-turun bukit antara Baron-Kukup itu, kita dapat melihat pemandangan pantai dan laut dari ketinggian, juga tebaran karang-karang yang tak akan terlihat kalau tidak naik ke sana. Saat itu, saya merasa seolah-olah kami tidak sedang berada di Indonesia, melainkan di negeri antah-berantah entah di mana. Benar-benar menakjubkan. Satu yang sangat saya sesalkan, foto-foto yang kami ambil, tidak ada yang bisa menyamai, sepersepuluh saja, keajaiban yang dilihat langsung oleh mata kami. Memang ya, buatan manusia, seperti apapun, tidak akan pernah mampu menyamai ciptaan Tuhan.

Kukup. Dari kejauhan, Kukup terlihat seperti rawa yang berbatasan dengan laut, karena sebelum laut, ada hamparan hijau-kecoklatan yang membentang. Begitu sampai di sana, kami baru sadar: itu rumput laut! Oh, baru sekali ini aku melihat ‘padang’ rumput laut seperti ini. Rumput laut itu terasa kenyal, seperti jeli, dan begitu ditarik, terasa seperti karet. Di Pantai Kukup, banyak penduduk sekitar sana yang menambang --entah apa istilah tepatnya-- rumput laut tersebut. Juga ada beberapa orang yang bersiaga dengan pancing dan jala, bukan untuk mengambil rumput laut tentunya.

Dan momen itu bernama shalat. Di atas karang, diiringi desau angin dan deburan ombak, kami menjamak shalat Dzuhur dan Ashar. Menentukan kiblat dari melihat arah matahari yang mulai condong ke barat. Terasa begitu larut, menyatu dengan alam.

Kembali ke Baron, kembali melewati jalan tempat pantai terlihat begitu menakjubkan itu. Meski sudah berkali-kali, rasanya mata ini tak bosan-bosan memandang. Terlebih, karena hari mulai senja, pantulan cahaya matahari yang hampir terbenam membuat segalanya lebih mengagumkan.

Menuju tempat parkir bus, kami terperangah. Tidak ada satupun angkudes di sana. Bertanya kepada seorang laki-laki yang sedang mencuci mobil, dan dijawab dengan: “Wah, kendaraan umum di sini cuma sampe jam 3, dek." Saya melirik jam dan mendapati, jam lima kurang seperempat. Bagus sekali.

Kami terdiam, mencoba menjernihkan pikiran, memikirkan beberapa alternatif jalan keluar. Seorang tukang ojek menawari kami ojek sampai terminal Wonosari, berdua delapan puluh ribu rupiah. Gila bener, memang tampang kucel seperti kami dikira mau membayar semahal itu?! Lagipula, belum tentu ketika sampai di terminal, masih ada bus yang ke arah Jogja. Saat itulah, sebuah titik terang melintas di hadapan kami. Satu keluarga kecil; ibu, ayah, dan satu anak kecil, berjalan menuju mobil mereka yang terparkir di hadapan kami. Mobil itu masih muat untuk ditambah kami berdua.

“Gimana nih, mau nebeng aja?”
“Mmm… gimana ya? Berani nggak bilangnya?”
“Mmm…”
“Mmm…”
Maju-mundur-maju-mundur-maju-mundur.

Sebentar lagi mobil itu berjalan pergi, dan kesempatan kami akan berlalu. Tiba-tiba, saya teringat guru yang sangat berharga bernama pengalaman, yang 'menampar' saya saat ke Kaliurang: kesempatan tidak akan datang dua kali. Ah ya sudah, nekat saja!

Maka dimulailah episode menahan gengsi, menebalkan muka itu.
“Mmm… Mas, maaf, mau pulang ke arah mana ya?”
“Ke Jogja.”
“Oh ke Jogja. Mmm.. kita ketinggalan bus, kalau mau ikut numpang boleh nggak?”
“Hm?” Laki-laki itu terdiam sejenak. “Tanya nyonya besar.”
Maka kami mengulangi kalimat yang sama pada sang nyonya.
“Oh boleh-boleh, ayo naik.” Jawaban itu membuat kami lega seketika. Kami tidak jadi bermalam di Pantai Baron!

Meski keberadaan anak kecil itu membuatku sedikit tenang, tetapi rasa was-was tetap ada. Bagaimana kalau kami diculik? Bagaimana kalau mereka ternyata buronan? Dan berbagai bagaimana horor lainnya. Karena itu, saya berusaha tidak lengah sedikit pun, betul-betul memperhatikan jalan, dan bersiap membuka kunci pintu sampingku apabila keadaan memaksa. Untuk berjaga-jaga, saya menghafal nomor polisi mobil itu dan mengirimkannya sebagai SMS pada seorang teman, dengan sedikit catatan: kalau aku tidak kembali malam ini, tolong segera hubungi polisi dan laporkan plat nomor mobil ini. Serasa di cerita-cerita detektif.

Syukurlah, pikiran-pikiran hororku itu tidak menjadi kenyataan, dan kami sampai di Jogja dengan aman dan selamat. Sepanjang perjalanan, kami berbincang ringan dengan keluarga itu. Satu ketika, sang bapak bertanya,
“Udah berapa tahun di Jogja?”
“Baru semester 1.”
“Semester 1 itu udah berapa bulan berarti?”
“Mmm… belum nyampe tiga bulan?”
“Belum tiga bulan udah berani jalan sendiri sampe Baron? Ckckck… nekat!”
“Kalau aku jadi kalian sih, aku udah nangis kali…” sambung sang ibu muda.
Dan kami hanya nyengir kuda.

Begitulah. Perjalanan ini memang perjalanan nekat. Didasari dengan kenekatan, penuh hal-hal nekat, dan diakhiri dengan kenekatan pula. Tapi, nekat itu, bagian dari hidup kan?


P.s.:
tulisan ini pernah di-publish di note Facebook saya, tertanggal 7 Oktober 2009, dengan sedikit perubahan

1 comment:

  1. Sabil!
    ahaha.kok bisa ya aku nemu blogmu nih.ckck. internet emang tanpa batas.

    let's move billl.
    aku merindukan 'jalan-jalan'
    sedihnya.

    ReplyDelete